“Jika mempertimbangkan kondisi realisasi APBN sampai Q1-2024 serta memperhatikan aspek keberlanjutan ketersediaan BBM di dalam negeri, penyesuaian harga BBM kemungkinan akan menjadi opsi yang cukup logis di tengah relatif terbatasnya opsi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah,” imbuh Reforminer.
Kebijakan harga yang kurang proporsional dan terbatasnya anggaran subsidi berpotensi menimbulkan risiko ekonomi dan sosial yang besar akibat terganggunya keberlanjutan pasokan BBM di dalam negeri.
Namun, kenaikan harga BBM juga bukan tanpa risiko. Ini karena produk domestik bruto (PDB) Indonesia baik berdasarkan pendekatan sektoral maupun kelompok pengeluaran memiliki keterkaitan yang kuat dengan harga energi.
“Berdasarkan kelompok pengeluaran, sekitar 55 persen PDB Indonesia merupakan kontribusi dari sektor konsumsi yang relatif sensitif terhadap tingkat inflasi,” tulis Reforminer.
Belum lagi, sekitar 50 persen penerimaan perpajakan negara berasal dari sektor industri dan sektor perdagangan yang memiliki keterkaitan cukup kuat dengan ketersediaan energi.
“Mencermati permasalahan yang ada, Reforminer menilai saat ini pemerintah menghadapi tantangan yang relatif sulit untuk dapat memformulasikan kebijakan fiskal dan kebijakan harga energi yang optimal,” kata Reforminer.
Sebelumnya, PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya, PT Pertamina Patra Niaga, memutuskan untuk kembali tidak menaikkan harga BBM Non Subsidi pada Juni 2024.
Wacana ini muncul di tengah harga minyak dunia yang masih fluktuatif dan nilai tukar rupiah yang cenderung melemah terhadap dolar Amerika Serikat (USD).
Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Irto Ginting mengatakan, keputusan tidak mengubah harga BBM mengacu pada beberapa aspek yang tercantum dalam Kepmen ESDM No. 245.K/MG.01/MEM.M/2022 tentang formulasi harga JBU atau BBM non subsidi.
Dalam aturan ini, perhitungan formulasi harga BBM, di antaranya dipengaruhi oleh nilai tukar dolar AS dan MOPS (Mean of Plats Singapore).
Informasi saja, penggunaan MOPS untuk menentukan harga patokan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri karena belum adanya harga pasar dalam negeri sehingga diperlukan acuan harga pasar terdekat (border price).
"Penyesuaian harga BBM nonsubsidi memang mengacu pada regulasi. Namun pada kondisi saat ini kami mendukung upaya Pemerintah untuk menjaga stabilitas perekonomian," kata Irto dalam keterangan tertulisnya, akhir bulan lalu. (ADF)