IDXChannel - China baru saja melaporkan surplus perdagangan di awal tahun ini pada periode Januari-Februari 2023. Angka gabungan surplus untuk dua bulan pertama tahun ini tercatat meningkat menjadi USD116,88 miliar.
Angka ini meningkat dari USD 109,7 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Angka ini mengalahkan perkiraan pasar sebesar USD81,8 miliar. (Lihat grafik di bawah ini.)
Surplus perdagangan China dengan Amerika Serikat (AS) tercatat mencapai USD41,29 miliar dalam dua bulan pertama tahun ini. Pada 2022, surplus perdagangan China melonjak 31% menjadi USD876,91 miliar, tertinggi sejak dimulainya pencatatan perdagangan pada 1950. Kenaikan ini ditopang oleh ekspor yang melonjak 7% sementara impor hanya tumbuh 1%.
Ini menjadi kondisi yang unik di mana hubungan bilateral antara China dan AS sedang memanas akhir-akhir ini.
“Perdagangan dan ekspor luar negeri China menunjukkan ketahanan yang kuat dalam menghadapi banyak kesulitan dan tantangan,” kata juru bicara bea cukai China, Lu Daliang, dikutip AP News pada pertengahan Januari lalu (13/1/2023).
Sejak tahun 1995, China telah mencatatkan surplus perdagangan yang konsisten. Pada 2021, surplus perdagangan China mencapai USD676,43 miliar, naik dibanding 2020 sebesar USD523,99 miliar didorong karena ekspor meningkat lebih dari 20% yang terdampak pemulihan ekonomi pasca-Covid-19.
Dampak dari adanya surplus perdagangan China adalah harga minyak melonjak ke level tertinggi dalam beberapa minggu pada Selasa (7/3) terkerek sentimen rebound ekonomi yang kuat di China dilanjutkan oleh data perdagangan yang lebih baik dari perkiraan.
Harga minyak berjangka Brent naik 0,3% ke level tertinggi dalam lima minggu terakhir di level USD86,42 per barel. Sementara minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) naik 0,3% ke level tertinggi dalam tiga minggu terakhir di level USD80,67 per barel pada pukul 23:47 ET (04:47 GMT). Harga minyak mentah sempat tertekan karena pertumbuhan PDB China yang lebih lemah dari perkiraan di tahun ini.
Ekspor-Impor Masih Lesu
Meski demikian, China mencatatkan turunnya ekspor sebanyak 6,8% yoy pada Februari 2023 sementara impor turun lebih banyak 10,2% di periode yang sama, di tengah perlambatan ekonomi global dan lemahnya permintaan domestik.
Angka ini di bawah ekspektasi 9,4%, berdasarkan survei Reuters. Penurunan tersebut juga lebih kecil dari penurunan bulan sebelumnya sebesar 9,9%.
Penurunan impor juga mengalahkan ekspektasi pasar sebesar 5,5% secara tahunan dan penurunan lanjutan dibanding bulan sebelumnya sebesar 7,5%.
Menteri Perdagangan China Wang Wentao juga memperingatkan bahwa tekanan pada impor dan ekspor negara itu akan meningkat secara signifikan tahun ini karena risiko resesi global dan melemahnya permintaan eksternal.
Pelemahan impor ini menunjukkan permintaan lokal masih menunjukkan sedikit tanda-tanda membaik dari level terendah era pandemi.
Data minggu lalu menunjukkan aktivitas bisnis China berkembang dengan laju tercepat dalam lebih dari satu dekade di bulan Februari, karena pemulihan pasca-Covid-19 yang kembali meningkatkan aktivitas ekonomi.
Namun, pemerintah memperkirakan target pertumbuhan ekonomi yang lebih kecil dari perkiraan untuk tahun ini, sebesar 5%, karena didorong oleh kehati-hatian atas perlambatan ekonomi global.
Pemerintah China juga telah meluncurkan sejumlah langkah stimulus untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, dan mengindikasikan akan terus memberikan stimulus sepanjang tahun ini.
Fokus minggu terdapat pada data inflasi China, yang juga diharapkan menunjukkan pemulihan karena pembukaan kembali mendorong peningkatan pengeluaran konsumen. (ADF)