sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Tak Hanya Liz Truss, Ini Deretan PM Inggris yang Dinilai Problematik

Economics editor Nia Deviyana
24/10/2022 13:21 WIB
Truss merupakan perdana menteri keempat yang mundur semenjak referendum Brexit 2016.
Masa jabatan PM Liz Truss selama 45 hari merupakan jabatan tersingkat dalam satu abad terakhir. Foto: MNC Media.
Masa jabatan PM Liz Truss selama 45 hari merupakan jabatan tersingkat dalam satu abad terakhir. Foto: MNC Media.

IDXChannel - Pemerintahan Inggris dikenal dengan pemerintahan yang stabil dan kuat. Namun, mundurnya Perdana Menteri (PM) Liz Truss pada Kamis (20/10/2022), menunjukkan betapa kacaunya politik Inggris dalam beberapa tahun terakhir.

Truss merupakan perdana menteri keempat yang mundur semenjak referendum Brexit 2016. Masa jabatan Truss selama 45 hari merupakan jabatan tersingkat dalam satu abad terakhir.

Melansir NPR, Kekacauan ini dimulai ketika mantan PM David Cameron mengadakan referendum untuk keluar dari Uni Eropa. Pada 23-24 Juni 2016 menjadi sejarah bagi Inggris dan Uni Eropa (UE) karena baru pertama kali blok tersebut kehilangan anggota akibat referendum. Inggris keluar dari UE setelah lebih dari 40 tahun bergabung. 

Cameron berharap referendum tersebut mampu mengakhiri perang di dalam Partai Konservatif terkait hubungan Inggris dan Eropa, serta ia juga berharap partainya tetap berkuasa. Di sisi lain, dia menginginkan Inggris tidak keluar Uni Eropa.

Tak disangka, masyarakat Inggis lebih memilih untuk meninggalkan Uni Eropa yang dikenal dengan Brexit. Hasil ini tidak disangka dan membuat nilai tukar poundsterling turun tajam terhadap dolar AS dan Euro. Brexit juga mengubah praktik ekonomi, politik, dan kebijakan luar negeri Inggris. Pengamat politik menilai keluarnya Inggris dari Uni Eropa akan membuat ekonomi Inggris menurun dan hubungan dengan negara lain kurang harmonis.

Setelah memantik Inggris ke jurang Brexit, Cameron kemudian mengundurkan diri sehari setelah referendum dan digantikan Theresa May sebagai Perdana Menteri.

May mungkin bukan termasuk PM yang problematik karena dia justru mencoba mendapatkan kesepakakan Brexit melalui parlemen, di mana dalam periode transisi 21 bulan setelah referendum dimulai, Inggris dan Uni Eropa diharapkan dapat mencapai kesepakatan dagang. Namun, ia dijatuhkan oleh pendukung anti-Eropa dan partainya sendiri yang menginginkan Inggris benar-benar memutus hubungan dengan blok Eropa. May akhirnya mundur dari jabatannya.

PM kemudian dijabat oleh Boris Johnson dan ia berkampanye untuk menyelesaikan konflik Brexit. Johnson akhirnya menyelesaikan sengketa perpisahan Inggis dan Eropa, setelah itu ia siap memimpin selama bertahun-tahun.

Saat Johnson menjabat sebagai PM Inggris yang baru, ia diuji dengan pandemi Covid-19 yang diremehkan olehnya. Ia akhirnya terinfeksi virus dan harus dirawat secara intensif. Lambatnya respons terhadap Covid-19 mengakibatkan sekitar 200.000 kematian di Inggis (tertinggi di Eropa) dan hal ini menuai kritik keras dari masyarakat.

Di saat Pemerintah Inggris membuat kebijakan lockdown, staf pemerintah Inggris mengadakan pesta. Hal ini memancing kemarahan warga Inggris, Johnson membantah hal tersebut dan bersikeras pemerintahannya mengikuti aturan lockdown. Akan tetapi, ia justru melanggar peraturannya sendiri menghadiri dua acara, atas hal tersebut ia dikenai denda lalu ia minta maaf dan mundur dari kursi PM.

Liz Truss menggantikan Johnson pada September. Ia memutuskan membuat kebijakan memangkas tarif pajak untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, Inggris tengah mengalami inflasi 10% dan kenaikan harga energi, sehingga kebijakannya justru memantik mata uang pound jatuh.

Profesor politik di Queen Mary University di London, Tim Bale, mengatakan alasan mantan PM Johnson dan PM Liss Truss jatuh karena mereka tidak dapat melaksanakan janjinya kepada masyarakat.

"Ini adalah fantasi yang ingin dipercayai oleh banyak orang Inggris, bahwa karena masa lalu kita yang seharusnya gemilang, kita juga berhak atas masa kini atau masa depan yang sama-sama indahnya," katanya.

Profesor emeritus ilmu politik dan kebijakan publik di London School of Economics, Patrick Dunleavy, mengatakan gejolak yang sedang terjadi tidak lepas dari kelemahan sistem pemerintahan Inggris dan cara Partai Konservatif memilih para pemimpinnya.

Dunleavy juga mengatakan bahwa kepemimpinan partai diputuskan oleh bukan anggota parlemen yang tidak memiliki kemampuan untuk memilih secara baik dan benar.

"Mereka tidak memiliki informasi yang baik atau kritis sebagai pemilih. Jadi, mereka telah memilih dengan buruk, sungguh (itu terjadi) pada pemilihan Boris Johnson dan Liz Truss," katanya. (NIA)

Penulis: Ahmad Dwiantoro

Halaman : 1 2 3
Advertisement
Advertisement