May mungkin bukan termasuk PM yang problematik karena dia justru mencoba mendapatkan kesepakakan Brexit melalui parlemen, di mana dalam periode transisi 21 bulan setelah referendum dimulai, Inggris dan Uni Eropa diharapkan dapat mencapai kesepakatan dagang. Namun, ia dijatuhkan oleh pendukung anti-Eropa dan partainya sendiri yang menginginkan Inggris benar-benar memutus hubungan dengan blok Eropa. May akhirnya mundur dari jabatannya.
PM kemudian dijabat oleh Boris Johnson dan ia berkampanye untuk menyelesaikan konflik Brexit. Johnson akhirnya menyelesaikan sengketa perpisahan Inggis dan Eropa, setelah itu ia siap memimpin selama bertahun-tahun.
Saat Johnson menjabat sebagai PM Inggris yang baru, ia diuji dengan pandemi Covid-19 yang diremehkan olehnya. Ia akhirnya terinfeksi virus dan harus dirawat secara intensif. Lambatnya respons terhadap Covid-19 mengakibatkan sekitar 200.000 kematian di Inggis (tertinggi di Eropa) dan hal ini menuai kritik keras dari masyarakat.
Di saat Pemerintah Inggris membuat kebijakan lockdown, staf pemerintah Inggris mengadakan pesta. Hal ini memancing kemarahan warga Inggris, Johnson membantah hal tersebut dan bersikeras pemerintahannya mengikuti aturan lockdown. Akan tetapi, ia justru melanggar peraturannya sendiri menghadiri dua acara, atas hal tersebut ia dikenai denda lalu ia minta maaf dan mundur dari kursi PM.