IDXChannel - Presiden Prabowo Subianto menargetkan realisasi 100 persen pembangkitan listrik dari Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam 10 tahun ke depan.
Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, target tersebut memiliki tantangan besar lantaran porsi terbesar anggaran ketahanan energi masih tersedot oleh importasi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan LPG, yang membuat subsidi energi tetap tinggi.
Anggaran ini, kata Bhima, seharusnya bisa dialihkan untuk mempercepat program transisi energi.
"Jadi porsi dari anggaran ketahanan energi sebenarnya bisa dialihkan untuk mempercepat program transisi energi. Misalnya transisi energi di pedesaan dengan panel surya. Kemudian juga harus dapat dukungan dari sisi regulasi ekosistem pendukungnya, misalnya percepatan pengesahan RUU EBT," ujar Bhima kepada IDX Channel, Senin (18/8/2025).
Bhima menyarankan, reformasi internal di tubuh PLN perlu dilakukan agar lebih banyak dukungan transmisi untuk proyek-proyek energi terbarukan.
"Jadi harus bisa dikombinasikan dengan kerjasama internasional. Salah satunya melalui JP, melalui kerjasama internasional yang sifatnya bilateral juga," tutur Bhima
Bhima mengidentifikasi setidaknya ada lima tantangan utama yang harus segera dituntaskan agar target 100 persen EBT dapat tercapai. Pertama, pemerintah harus konsisten menutup Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Sayangnya, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) masih mendorong investasi di sektor PLTU dan gas alam.
Kedua, ruang fiskal APBN yang sempit membuat pemerintah harus mendorong pendanaan alternatif, seperti pajak karbon dan kerja sama internasional. Selain itu, bank domestik juga perlu menyalurkan kredit ke sektor EBT.
Ketiga, Bhima menekankan pentingnya percepatan pengesahan RUU EBT di DPR untuk memberikan insentif dan dukungan regulasi yang memadai bagi pengembangan EBT.
Keempat menekan impor, pemerintah harus mendukung pembangunan industri komponen manufaktur EBT di dalam negeri, seperti panel surya, dengan kapasitas yang besar.
Terakhir, target ambisius ini membutuhkan transisi pekerja dan keahlian baru. Bhima menyarankan agar sekolah vokasi dan perguruan tinggi mulai membuka jurusan atau bahkan fakultas khusus EBT untuk menyiapkan SDM yang dibutuhkan.
"Sampai kapanpun kalau kita masih bergantung pada importasi fosil dalam jumlah yang besar untuk industri maupun untuk transportasi, maka ketahanan energinya masih akan sulit tercapai dan butuh anggaran yang akan lebih besar lagi ke depannya," kata Bhima.
(DESI ANGRIANI)