Minggu (24/11/2024) lalu, S&P menurunkan estimasi pertumbuhan PDB China pada 2025 dan 2026 menjadi masing-masing 4,1 persen dan 3,8 persen.
"Apa yang kami asumsikan dalam acuan dasar kami adalah kenaikan tarif (impor barang China di AS) secara menyeluruh dari sekitar 14 persen saat ini menjadi 25 persen. Jadi, yang kami asumsikan sedikit lebih tinggi dari 10 persen pada semua impor dari China," ujarnya.
Trump sendiri mengancam Beijing dengan tarif yang jauh lebih tinggi daripada 7,5 persen-25 persen yang dikenakan pada barang-barang Cina selama masa jabatan pertamanya.
Global Times dengan mengutip analis di Akademi Ilmu Sosial China di Beijing, Gao Lingyun, menuliskan bahwa kebijakan tarif yang dibuat dengan memanfaatkan isu antinarkotika sepertinya tidak akan bertahan lama.
Trump sebelumnya juga mengatakan bakal mengenakan tarif lebih dari 60 persen pada barang-barang China. Ancaman tersebut mengguncang kompleks industri China, yang menjual barang-barang senilai lebih dari USD400 miliar setiap tahun ke negeri Paman Sam dan ratusan miliar dolar AS lagi dalam bentuk komponen untuk produk yang dibeli warga Amerika dari tempat lain.
Trump pada Senin lalu juga menjanjikan kenaikan tarif impor sebesar 25 persen pada barang-barang dari Meksiko dan Kanada. Dia beralasan, dua tetangga AS itu gagal menghentikan narkoba dan imigran melintasi perbatasan mereka.
Namun, daripada Kanada dan Meksiko, China diprediksi akan menanggung beban paling besar dari rencana Trump untuk menurunkan defisit perdagangan AS lewat perang tarif itu.
"Sulit untuk mengatakan apa yang akan terjadi di masa mendatang terkait hal ini. Masih banyak ketidakpastian. Masih ada peningkatan besar yang harus dicapai untuk mencapai 60 persen," ujar Kuijs.
(Ahmad Islamy Jamil)