Misalnya saja ketidaksiapan pemerintah daerah di masing-masing wilayah yang memiliki kebaya sesuai ciri khas daerah masing-masing.
"Prosesnya masih panjang nih. Kita harus membuat dokumen pendaftaran yang disebut dosier. Di dalamnya berisi berbagai penjelasan soal keberadaan kebaya di Indonesia dan harus dilengkapi dengan dokumentasi baik dalam bentuk foto maupun video. Dosier ini didasari oleh kajian ilmiah yang dilakukan oleh para akademisi, didukung oleh ahli budaya. Bisa makan waktu panjang untuk mempersiapkan dosier ini," paparnya.
"Untuk upaya kesitu, pemerintah daerah kita harus aktif untuk melengkapi dosier tersebut. Karena masih banyak daerah penghasil kebaya yang belum sadar akan hal ini. Sejauh ini yang bisa kita daftarin (diproses) itu kebaya Encim oleh pemerintah daerah DKI Jakarta, dan kebaya Labuh dari Riau. Sementara kebaya yang lain-lain nggak, karena belum ada prosesnya," lanjut dia.
Menurutnya, hal itulah yang membuat Indonesia bisa kalah cepat dari keempat negara tetangga yang telah siap dalam hal mempersiapkan dosier sehingga bisa mendaftakan kebaya ke UNESCO.
"Mereka sudah punya kajian-kajian ilmiah, karena menyangkut pembuktian bahwa sudah 25 tahun nih, nah mereka juga pasti sudah menyiapkan bukti-bukti," tuturnya. (NIA)