“Dalam menangani perkara sengketa gaji, posisi KJRI Jeddah jadi lemah kalau PMI (Pekerja Migran Indonesia) telah menandatangani atau membubuhkan sidik jari pada lembar pembayaran. Syukur kalau majikan jujur dan mau mengakui. Jika tidak, kan PMI jadi kehilangan haknya. Bicara hukum, bicara bukti,” ujar Konjen Eko Hartono yang memimpin langsung pelaksanaan Yandu di kota yang berjarak sekitar 700 KM dari KJRI Jeddah tersebut, sebagaimana dikutip dari situs resmi KJRI Jeddah.
Dalam kesempatan tersebut, Tim Yandu juga berhasil mengupayakan kenaikan upah bagi 13 PMI yang telah bekerja bertahun-tahun sebagai ART dan masih digaji di bawah standar.
Kenaikan nilai upah tersebut berhasil diperjuangkan setelah negosiasi alot dengan para majikan. Kesepakatan tersebut kemudian dikuatkan dalam Perjanjian Kerja (PK) dalam dua bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab) yang ditandatangai oleh majikan dan ART-nya. Gaji standar untuk ART di Arab Saudi berkisar SR1.500.
Dari sekian permasalahan seputar PMI selama Yandu di Khamis Musheit umumnya adalah belum pernah pulang ke Tanah Air Indonesia meski telah bertahun-tahun bekerja. Sebagian karena dipersulit majikan, sebagian lagi karena keengganan PMI sendiri untuk mengambil cuti dengan berbagai alasan.
Di sela kegiatan Yandu tersebut, tim juga menyalurkan bantuan COVID-19 berupa 15 paket sembako kepada PMI yang kehilangan pekerjaan, tidak digaji atau pengurangan gaji karena dirumahkan setelah dinyatakan positif terinfeksi COVID-19.