Pada suatu musim, desa Ardi dilanda kekeringan panjang. Sawah-sawah mengering, ternak tak berminat makan, dan wajah-wajah penduduk diliputi kekhawatiran. Ardi melihat kesedihan ini, hatinya teriris. Ia tak bisa tinggal diam.
"Kita tak bisa melawan takdir," keluh seorang tetua, "Kekeringan ini pasti cobaan dari Tuhan."
"Tapi kita bisa melawan keputusasaan, Pak," sahut Ardi, matanya berbinar. "Mari kita kumpulkan bekal yang tersisa, lalu berangkat ke lembah di seberang bukit. Konon, di sana masih ada mata air yang mengalir."
Awalnya, para warga ragu. Perjalanan ke lembah itu berbahaya, dan membawa bekal yang menipis terasa seperti bunuh diri. Namun, melihat keyakinan Ardi, mereka akhirnya luluh. Dengan harapan yang terselip di dada, mereka mengikuti langkah Ardi.
Perjalanan penuh tantangan. Bukit gersang yang terik matahari menguras tenaga, bekal semakin menipis, dan rasa putus asa mulai menggerogoti hati mereka. Tapi Ardi terus maju, bibirnya tak henti melantunkan lagu-lagu penyemangat.