"Di samping itu, keluarga dan lingkungan juga dengan besar hati harus memberikan memberikan dukungan untuk pasien Vitiligo. Intinya adalah mengajak pasien tidak malu dan menutupi lesi vitiligonya, mencari pengobatan terbaik, dan tetap berkualitas dalam mengisi kehidupan," tuturnya.
Hal senada juga dikatakan oleh Psikolog Universitas Indonesia Sali Rahadi Asih. Ia menuturkan, vitiligo dapat membawa dampak kondisi mental pasien dan juga orang-orang terdekat. Namun demikian, perlu ditingkatkan terus terkait awareness masyarakat luas, bagaimana cara merawat penyakit, serta membangun community empowerment untuk pasien sehingga membantu meningkatkan kualaitas hidupnya. "Tak dipungkiri, rasa malu, cemas, bahkan depresi tidak luput dirasakan oleh pasien vitiligo dan anggota keluarganya," kata dia.
Di acara yang sama, CEO Vitiligo Research Foundation Yan Falle menyatakan bahwa pandemi Covid-19 semakin menenggelamkan pentingnya perhatian terhadap penyandang vitiligo. Padahal menyelamatkan penderita vitiligo tak kalah penting. "Covid-19 mungkin telah mengubah banyak hal tahun ini, tapi itu tidak akan menghalangi semua apa yang telah kita capai selama ini untuk menyadarkan ketidaktahuan jutaan orang tentang vitiligo," ujarnya.
(SANDY)