Buku catatan pelajaran kimianya sempat kosong pada awal dia bersekolah. Bukan karena Mardi malas, tetapi karena dia tidak memahami dialog dalam bahasa Jawa. Namun kendala bahasa tak menghambat keinginannya untuk belajar.
Mardi membuat kamus Jawa-Indonesia dengan meminta teman-temannya untuk menuliskan kosa kata dalam bahasa Jawa untuk dihafalkannya. Dalam kurun beberapa minggu saja, Mardi mulai bisa mengikuti kelas Kimia lebih baik dan mampu berbicara dengan Jawa Ngoko.
Dengan kendala bahasa itu, Mardi tetap berhasil menjadi juara satu. Mardi belajar lebih keras semasa SMA-nya, hingga dia berhasil lulus dengan predikat juara umum di sekolahnya, dengan NEM tertinggi se-Jateng pada masanya.
Mardi mencetak nilai sempurna di ijazahnya, yakni dengan nilai 10 untuk matematika, fisika, dan kimia. Lalu Mardi melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor (IPB) jurusan nutrisi dan teknologi pangan.
Saat lulus, lagi-lagi Mardi mencatatkan nilai sempurna, alias cum laude. Usai kelulusan, dia sempat bekerja sebagai peneliti honorer di lab IPB, sembari menunggu pengumuman beasiswa. Namun sayang, tak satu pun balasan positif diterimanya.