"Naik tipis sekitar 3% karena terjadi penurunan market share dari Unilever dan laba turun karena dari margin laba kotornya sudah tertekan turun 5% secara tahunan, dari laba kotor turun, alhasil laba bersih turun," jelas Steven.
Steven mengungkapkan, laba kotor turun karena sepanjang 2022 ada gangguan supply chain di global. Sementara penjualan terbesar Unilever produk kesehatan dan perawatan tubuh ada kandungan kimianya serta ada aktivitas impor.
Dengan demikian, Steven berpendapat, apa yang terjadi pada Unilever saat ini tidak merefleksikan kinerja sektor consumer goods.
"Kan Unilever juga dalam beberapa tahun terakhir kinerjanya juga turun, namun kayak saham MYOR, ICBP pergerakan sahamnya naik. Jadi rupanya pelaku pasar sudah bisa bedain, jadi Unilever bisa keluar dari benchmark consumer goods itu sendiri," ungkap Steven.
Sebentar lagi akan masuk bulan puasa dan Idul Fitri, Steven memprediksi, saham-saham dari consumer goods bisa mengalami peningkatan penjualan secara kuartalan.
"Tentu saja Unilever diharapkan bisa menikmati dampaknya karena Unilever sudah mengakuisisi merek makanan yang menyasar segmen kelas bawah dan diharapkan bisa menopang penjualan Unilever di kuartal II nanti," jelas Steven.