Anjlok 3,32 Persen, Juni Jadi Bulan Terburuk IHSG Sepanjang Semester I

IDXChannel – Juni menjadi bulan terburuk bagi Indeks Harga Saham Gabungan selama paruh pertama 2021. Sepanjang bulan ini, HSG anjlok lebih dari 3 persen dan investor asing melakukan net sell dalam jumlah besar.
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG anjlok ke 6.911,58 hingga minus 3,32% selama Juni.
Bahkan, di hari terakhir Juni, Kamis (30/6), IHSG ditutup ambles 0,44% setelah pada awal perdagangan sempat naik ke 6.990,86 (+0,70%). IHSG berbalik arah ke zona merah 15 menit setelah pembukaan sesi II siang tadi.
Praktis, bulan ini menjadi yang paling terjeblok tinimbang 5 bulan sebelumnya.
Sebagai informasi, sepanjang Januari 2022 IHSG naik 0,75%, Februari melonjak 3,88%, Maret melesat 2,66%, dan April naik 2,23%.
Bahkan, selama koreksi Mei (IHSG turun 1,11%) yang kental dengan adagium bernuansa negatif, Sell in May and Go Away, penurunan sepanjang Juni tetap menjadi yang ‘terboncos’.
Investor asing juga keluar dari bursa domestik selama Juni dengan jual bersih (net sell) jumbo Rp3,8 triliun di pasar reguler per penutupan Rabu (29/6).
Asal tahu saja, per Rabu kemarin, asing sudah melakukan net sell selama 9 hari beruntun.
Sebagai informasi, per artikel ini ditulis, pihak bursa belum merilis informasi terkait data aliran dana asing (net buy/net sell asing) pada perdagangan Kamis (30/6).
Asing sendiri paling banyak melego saham-saham big cap perbankan—yang merupakan salah satu penggerak utama IHSG--selama Juni.
Fluktuasi IHSG sepanjang paruh pertama tahun ini, terutama periode Mei-Juni, tak bisa dilepaskan dari sentimen global, terutama efek kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral negara utama dan dampak lanjutan dari perang di Ukraina. Potensi resesi ekonomi pun--dampak dari aksi agresif kerek bunga acuan--menjadi latar belakang yang menghantui investor saham.
Rezim kenaikan suku bunga, yang dipimpin oleh bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (The Fed), sendiri semata-mata diberlakukan demi meredam inflasi yang meroket (khususnya untuk harga pangan dan komoditas), terutama dampak dari macetnya rantai pasok global di tengah perang dan pemulihan pandemi.
The Fed, misalnya, menerapkan kebijakan pengetatan moneter dengan menaikkan suku bunga secara agresif, termasuk quantitative tightening (QT) untuk mengakhiri kebijakan uang longgar (quantitative easing/QE, suku bunga rendah). (ADF)