Dia mengungkapkan saat ini terjadi peningkatan jumlah perusahaan yang harus menghentikan operasional, karena tidak mampu memenuhi ekspektasi perkembangan ESG di pasar global. Ketika perusahaan-perusahaan ini tidak responsif terhadap ESG, maka risiko kehilangan kepercayaan investor dan regulator menjadi sangat besar.
Kendati demikian, PWC mencatat regulasi ESG di berbagai negara menunjukkan perbedaan arah. Ada negara yang tetap konsisten dengan peta jalannya, tetapi ada pula yang mulai melonggarkan standar ESG. Namun, hal itu tidak menghilangkan urgensi dari penerapan ESG itu sendiri.
“But one thing for sure (yang jelas) yang kita lihat itu adalah climate risk doesn't go away (risiko perubahan iklim masih mengintai), mau kondisi politik itu seperti apa,” kata Yuliana.
Lebih lanjut, dia berharap penerapan standar ESG ke depan, termasuk implementasi standar IFRS S1 dan S2, tidak berhenti pada aspek administratif.
“Harapannya dapat membantu business user (pelaku usaha) untuk me-reframe (menentukan ulang) strategi mereka supaya perusahaan tetap dapat viable (rajin) dan meningkatkan performa keuangan,” ujarnya.
(Rahmat Fiansyah)