IDXChannel - Kinerja emiten properti hingga kuartal III-2025 masih diliputi bayang-bayang lesunya daya beli masyarakat. Hal ini tercermin dari melambatnya pertumbuhan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR).
Analis Panin Sekuritas, Aqil Triyadi menilai terdapat masalah struktural pada pasar tenaga kerja dan rasio kemampuan konsumen dalam membeli rumah.
"Pelemahan daya beli properti dapat tercermin dari Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) yang trennya terus melambat. IHPR pada kuartal II-2025 tumbuh hanya 0,9 persen secara tahunan, turun dari 1,76 persen pada kuartal II-2024," katanya dalam riset bertajuk 'Property: Stabilizing the Ground', dikutip Selasa (28/10/2025).
Aqil menjelaskan, penurunan daya beli juga disebabkan oleh terbatasnya penciptaan lapangan kerja baru. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat hanya 824 ribu lapangan kerja tercipta pada 2024, sedangkan penambahan angkatan kerja setiap tahunnya mencapai 3–4 juta orang.
Kondisi ini dinilai membuat kompetisi kerja semakin ketat dan berimbas pada lemahnya kemampuan membeli rumah. "Padahal rata-rata penambahan angkatan kerja 3-4 juta orang per tahun," katanya.
Dari sisi kualitas pekerjaan, proporsi pekerja penuh waktu di Indonesia menurun menjadi 66,19 persen per Februari 2025, sementara pekerja setengah menganggur meningkat menjadi 25,81 persen.
Menurutnya, perubahan struktur ini berdampak langsung pada permintaan hunian di segmen menengah dan bawah yang menjadi penopang utama pasar properti domestik.
Selain faktor ketenagakerjaan, tingginya rasio harga rumah terhadap pendapatan juga menekan minat beli masyarakat.
Berdasarkan data Panin Sekuritas, harga rata-rata rumah di Indonesia mencapai sekitar Rp17 juta per meter persegi, sedangkan pendapatan rata-rata masyarakat hanya sekitar Rp37 juta per tahun. Dengan demikian, rasio harga rumah terhadap pendapatan mencapai 46 persen.
Mengutip data World Population Review, Indonesia memiliki rasio housing mortgage as percent to income sebesar 189 persen pada 2024, jauh lebih tinggi dibandingkan Malaysia 60 persen, India 119 persen, dan Singapura 131 persen.
"Kondisi ini menunjukkan keterjangkauan perumahan di Indonesia relatif rendah dibandingkan negara tetangga," ujar Aqil.
Di sisi lain, dia juga menyoroti fenomena sosial ekonomi yang memperparah tekanan daya beli, antara lain meningkatnya kasus pinjaman daring (pindar), dan perjudian online. Aqil menyebut kedua hal ini memperburuk kemampuan finansial rumah tangga, khususnya pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah.
"Berbagai kasus judi online & pinjaman online menjadi semakin pelik nya permasalahan struktural daya beli, sehingga harus ditangani oleh Pemerintah secara serius," ujarnya.
Stimulus PPN DTP Topang Daya Beli?
Kendati demikian, pemerintah disebut masih berupaya menahan pelemahan sektor properti melalui kebijakan insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) untuk hunian di bawah Rp5 miliar yang akan diperpanjang hingga 2027. Katalis ini didukung dengan tren penurunan suku bunga.
Aqil menilai kebijakan ini dinilai memberi kepastian bagi pengembang dalam menyiapkan produk, meskipun tantangan dari sisi permintaan masih besar.
Untuk menghidupkan kembali sektor properti, ujarnya, kebijakan fiskal dan moneter harus diimbangi dengan langkah strategis memperkuat daya beli masyarakat.
"Ada downside risk, jika downside risk terhambatnya penyaluran fiskal, maka dapat mengganggu pemulihan daya beli," katanya.
(Rahmat Fiansyah)