sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Dibayangi Tarif Trump, Rupiah Berhasil Menguat ke Rp16.260 per USD

Market news editor Nia Deviyana
11/06/2025 16:35 WIB
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (USD) menguat ke level Rp16.260 per USD pada penutupan perdagangan Rabu (11/6/2025). 
Dibayangi Tarif Trump, Rupiah Berhasil Menguat ke Rp16.260 per USD. Foto: Freepik.
Dibayangi Tarif Trump, Rupiah Berhasil Menguat ke Rp16.260 per USD. Foto: Freepik.

IDXChannel - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (USD) menguat ke level Rp16.260 per USD pada penutupan perdagangan Rabu (11/6/2025). Mata uang Garuda menguat 15 poin atau 0,09 persen dibandingkan penutupan perdagangan sebelumnya.

Sementara itu, kurs referensi Bank Indonesia (BI) Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) mencatat rupiah di posisi Rp16.265 per USD.

Pengamat Pasar Uang Ibrahim Assuaibi menilai pelemahan dolar dipicu beberapa sentimen, salah satunya pengadilan banding yang memerintahkan tarif Trump tetap berlaku untuk sementara waktu.

Berita tentang putusan tersebut mengimbangi beberapa optimisme atas pernyataan AS dan China bahwa mereka telah mencapai kerangka kerja untuk pembicaraan perdagangan, meskipun para pejabat memberikan sedikit rincian aktual tentang perjanjian tersebut.

Fokus sekarang tertuju pada data inflasi indeks harga konsumen AS yang utama, yang akan dirilis pada Rabu, untuk isyarat lebih lanjut tentang ekonomi terbesar di dunia tersebut. 

"Data tersebut diperkirakan menunjukkan inflasi sedikit menguat pada bulan Mei, tetap stabil di sekitar level yang terlihat sepanjang sebagian besar tahun 2025," tulis Ibrahim dalam risetnya, Rabu (11/6/2025).

Tekanan harga AS sebagian besar telah menghentikan penurunannya dalam beberapa bulan terakhir, dengan gangguan yang berasal dari tarif Trump juga mendorong kenaikan harga konsumen.

"Data tersebut dapat memberi Federal Reserve lebih banyak dorongan untuk mempertahankan suku bunga tidak berubah," kata Ibrahim.

Dari internal, pelaku pasar mencermati tentang angka garis kemiskinan versi Bank Dunia agar dimaknai secara berhati-hati agar tidak menimbulkan kesimpulan yang menyesatkan dalam konteks nasional. 

Bank Dunia menggunakan pendekatan purchasing power parity (PPP) untuk menyesuaikan daya beli antarnegara. 

Sementara itu, dalam konteks nasional, telah ada data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menggunakan pendekatan kebutuhan dasar atau cost of basic needs (CBN) yang jauh lebih kontekstual dan sesuai dengan karakteristik konsumsi rumah tangga Indonesia.

Untuk komponen makanan, misalnya, BPS menggunakan standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori (kkal) per orang per hari dan memperhitungkan pola konsumsi aktual masyarakat, termasuk makanan pokok seperti beras. 

BPS juga memperhitungkan kebutuhan dasar non-makanan seperti pendidikan dan perumahan.

Sebagai akibat dari perbedaan tujuan dan metodologi ini, maka perbedaan hasil pun signifikan. 

Per September 2024, BPS mencatat tingkat kemiskinan nasional sebesar 8,57 persen atau sekitar 24 juta jiwa. Sementara menurut Bank Dunia, dengan garis kemiskinan USD6,85 per kapita per hari (PPP) atau menggunakan PPP 2017 atau sebelum revisi), sekitar 60,3 persen penduduk Indonesia pada 2024 dianggap hidup di bawah standar kemiskinan menengah atas. 

Kesenjangan ini akan semakin besar dengan revisi ke USD8,30 (PPP 2021 untuk negara berpendapatan menengah atas). 

Namun, revisi Bank Dunia terhadap garis kemiskinan global yang kini mengadopsi PPP 2021 merupakan langkah penting untuk mencerminkan realitas daya beli yang lebih mutakhir, berdasarkan hasil International Comparison Program (ICP) 2021.

(NIA DEVIYANA)

Halaman : 1 2 3
Advertisement
Advertisement