Proyek blast furnace rencananya akan diserahkan kepada investor China sebagai upaya memperoleh investasi baru Malangnya, kata Erick, upaya itu gagal lantaran harga baja dunia mengalami kenaikan signifikan.
"Kemarin sempat ada diskusi dengan partner China. Mereka ingin ambil alih blast furnace ini, tetapi dibetulin total dan mereka tambah duit dengan hitung-hitungan yang baik cuma nggak jadi karena baja lagi naik harganya. Jadi, untuk membangun pabriknya mereka butuh dua kali lipat, jadi mereka mundur," katanya.
Erick memang memberi lampu hijau kepada Krakatau Steel untuk melanjutkan proyek peleburan tanur tinggi sebelumnya. Padahal, emiten pelat merah sendiri sudah menghentikan operasional blast furnace sejak 5 Desember 2019 lalu.
Alasan penghentian karena pabrik tidak mampu menghasilkan baja dengan harga pasar yang kompetitif. Sementara, biaya operasionalnya tercatat tinggi.
Sejak proyek tersebut dimulai pada 2011 lalu, perusahaan sudah mengeluarkan anggaran sekitar USD714 juta dolar AS atau setara Rp10 triliun. Angka ini mengalami pembengkakan Rp3 triliun dari rencana semula yang hanya Rp7 triliun.