IDXChannel – Saham PT Gudang Garam Tbk (GGRM) pernah menjadi idola investor. Di masa jayanya, harga saham emiten rokok ini sempat menembus Rp94.000 per saham. Namun, saat ini harga saham GGRM masih dalam tren merosot.
Teranyar, hari ini, Senin (11/7), harga saham GGRM ditutup anjlok mendekati batas auto rejection bawah 7%, tepatnya 6,55% ke harga Rp29.600/saham. Ini menjadi level penutupan terendah sejak Mei 2010 atau 12 tahun silam.
Dengan ini, saham GGRM sudah melemah 3,50% dalam sebulan, turun 3,27% sejak awal tahun (ytd). Dalam setahun, saham ini ambles 16,97% dan dalam 3 tahun belakangan terjun bebas 63,00%.
GGRM sendiri bakal membagikan dividen sebesar Rp4,32 triliun tahun ini pada 28 Juli mendatang. Nominal jumbo tersebut berasal dari laba bersih perseroan tahun buku 2021.
Pembagian dividen akan dilakukan kepada 1,92 miliar saham yang beredar dengan nilai dividen per saham mencapai Rp2.250 per saham.
Secara historis, pembagian dividen GGRM tahun ini tercatat menjadi dividen terkecil perseroan dibandingkan enam tahun terakhir.
Data di web resmi perseroan menunjukkan bahwa dari 2015 - 2020, perseroan secara konsisten membagikan dividen sebesar Rp5,00 triliun.
GGRM memang tergolong rajin membagikan dividen. Setidaknya sejak 2017, hanya pada 2020 GGRM absen membagikan dividen.
Adapun besaran dividen GGRM sepanjang 2017-2021 (minus 2020) konsisten di angka Rp2.600 per saham.
Sempat Berjaya hingga 2019
Investor saham tentu tidak lupa ketika saham GGRM, bersama emiten rokok lainnya, mengalami masa jaya di bursa.
Melantai sejak 1990, harga saham GGRM terus dalam tren menanjak hingga akhirnya mencapai puncaknya pada penutupan 4 Maret 2019, ketika saham ini menembus Rp94.400/saham. Saat itu, kapitalisasi pasar (market cap) GGRM pun menyentuh Rp181,63 triliun, masuk jajaran elite.
Namun, semenjak itu, harga saham GGRM cenderung merosot hingga hari ini. Market cap-nya pun menjauh dari club big cap Rp100 triliun, setidaknya sejak Maret 2020 (bertepatan dengan munculnya Covid-19). (Lihat tabel di bawah ini.)
Penjelasan yang paling memadai soal tren penurunan saham GGRM adalah soal performa keuangan Gudang Garam yang tidak menawarkan growth story mentereng di tengah semakin matangnya perusahaan.
Kenaikan cukai rokok yang agresif selama era Presiden Jokowi (periode pertama sampai saat ini) bisa menjadi salah satu kambing hitamnya.
Sejak 2015, pemerintah rerata menaikkan cukai rokok 12,5% dengan total kenaikan sejak tahun ini mencapai lebih dari 70%.
Tak pelak lagi, kenaikan cukai membuat beban pokok penjualan GGRM membengkak. Ini lantaran beban pita cukai, PPN, dan pajak rokok menyumbang mayoritas dari total porsi beban penjualan GGRM. (Lihat tabel di bawah ini.)
Pada gilirannya, beban pokok yang terus menanjak turut menggerus laba kotor dan juga ikut menekan marjin laba bersih atawa NPM perusahaan. (Lihat tabel di bawah ini.)
Melihat kinerja yang belum tampak kembali pulih (dengan laba bersih tahun penuh 2021 menjadi terendah sejak 2016) tersebut, investor ikut mempertimbangkan kembali prospek Gudang Garam ke depan.
Kendati, memang, tidak lantas berarti semua investor meninggalkan saham perusahaan yang didirikan sejak 1958 ini. Sejumlah analis saham tercatat masih berani memberikan rating overweight (potensi kenaikan 5-15 persen) untuk saham ini.
Terlepas dari itu, investor tetap harus menyimak jeroan dan prospek perusahaan ini apabila ingin berinvestasi di dalam sahamnya. (ADF)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.