IDXChannel - Eropa tengah dibayang-bayangi ketidakpastian ekonomi tingginya harga energi, inflasi yang merajalela, hingga pasar keuangan yang menunjukkan performa fluktuatif menyebabkan kondisi ekonomi benua Biru serba tidak pasti. Sektor keuangan termasuk salah satu yang ketar-ketir.
Credit Suisse jadi salah satu topik dalam pekan ini. Harga saham bank investasi terbesar asal Swiss ini mengalami penurunan tajam pada perdagangan awal pekan ini hingga 11,5%, mengutip Reuters.
Tak hanya itu, permintaan credit default swaps (CDS) milik Credit Suisse meroket menuju all-time high (ATH) pada Senin, (3/10). Kenaikan ini disebut melampaui harga risiko default dibanding perusahaan pesaing, Barclays Plc dan Deutsche Bank, melansir Bloomberg.
Sumber: Reuters
Namun, rekor ATH CDS ini bukanlah pertanda yang baik bagi pasar keuangan. Permintaan CDS yang tinggi merepresentasikan kondisi pasar yang tengah khawatir akibat sejumlah risiko yang membayangi, seperti ancaman krisis.
Kenaikan dramatis ini terjadi setelah upaya CEO Credit Suisse Ulrich Koerner yang berusaha meyakinkan karyawan tentang stabilitas keuangan bank, tetapi malah menambah kekhawatiran dan gejolak.
Koerner akhirnya berbicara dengan investor dan klien selama akhir pekan atas kekhawatiran tentang penurunan harga saham hingga kenaikan CDS.
Credit Default Swap (CDS) merupakan sebuah instrumen derivatif di pasar keuangan, yakni berupa kontrak antara penjual dan pembeli CDS dengan membayar biaya (fixed premium) pada periode tertentu (maturity) dan kompensasi tertentu apabila terjadi credit event. Dengan kata lain, CDS adalah sejenis perlindungan/proteksi atas risiko kredit (credit event).
Banyak media berspekulasi kondisi yang tengah dialami Credit Suisse akan mengantarkannya menjadi Lehman Brothers kedua pasca kolapsnya perusahaan jasa keuangan asal Amerika Serikat (AS).
Sebelum mengumumkan kepailitan pada 2008, Lehman adalah bank investasi terbesar keempat di negeri Paman Sam. Benarkah kondisi Credit Suisse sudah sedemikian parah?
Tak Sama dengan Lehmann Brother
Terlalu dini menyimpulkan nasib Credit Suisse akan serupa seperi Lehmann Brothers yang menyatakan pailit pada 2008.
Credit Suisse masih menunjukkan kinerja positif dari sisi laporan keuangannya. Dalam kasus gonjang ganjing Credit Suisse, kekhawatiran pasar yang berlebihan lebih dominan menjadi faktor huru-hara yang saat ini mengintai.
Beberapa investor mengatakan, pergerakan di pasar terkait Credit Suisse yang berlebihan lebih mencerminkan perdagangan yang kacau dibandingkan ketakutan atas fundamental perusahaan, yakni soal tingkat solvency (kemampuan membayar utang jangka panjang) perusahaaan.
Investor lebih terlihat seperti sedang membeli ‘tiket lotre’, mengutip Financial Times.
Kondisi ini serupa dengan yang dialami Deutsche Bank pada 2016, ketika kekhawatiran pasar akan kemampuan bank Jerman tersebut pembayaran obligasi mendorong pergerakan tajam di pasar CDS.
Analis JPMorgan Kian Abouhossein juga mengatakan pada Senin (3/9), mengutip Reuters, bahwa posisi keuangan Credit Suisse di akhir kuartal kedua terbilang sehat. Dengan rasio modal inti utama (common equity Tier 1/CET1)--indikator kekuatan keuangan--mencapai sebesar 13,5% dan rasio cakupan/kecukupan likuiditas (LCR) mencapai 191%.
Mengutip Bloomberg, dalam laporan tahunan Credit Suisse pada 2021, disebutkan bahwa rasio minimum CET1 internasionalnya sebesar 8%, sementara otoritas keuangan Swiss menetapkan sekitar 10%.
Sebagai informasi, rasio modal inti utama (CET1 ratio) adalah perbandingan antara modal bank dengan aset tertimbang menurut risiko (ATMR) alias risk-weighted assets. Rasio ini berguna untuk menentukan kemampuan bank menahan tekanan keuangan.
“Rasio CET1 Credit Suisse sebesar 13 hingga 14%, sehingga rasio akhir kuartal kedua berada dalam kisaran itu dan rasio cakupan likuiditas masih jauh di atas persyaratan,” tulisnya.
Sementara itu, CEO Ulrich Koerner mengatakan kepada staf dalam sebuah memo pada Jumat (30/9) bahwa perusahaan masih memiliki modal dan likuiditas yang solid. Hal ini dikonfirmasi oleh juru bicara bank Swiss yang akan mengumumkan hasil tinjauan strategis bulan depan.
"Saya tahu tidak mudah untuk tetap fokus di tengah banyak cerita yang beredar di media, mengingat banyak pernyataan yang dibuat secara faktual tidak akurat. Karena itu, saya percaya jangan membingungkan kinerja harga saham kami sehari-hari. dengan basis permodalan dan posisi likuiditas bank yang kuat," tulisnya
Lain ladang lain belalang. Runtuhnya Lehmann Brothers lebih ditengarai adanya mis-kalkulasi secara fundamental.
Pada 2003 hingga 2004, dengan gelembung perumahan di AS yang melesat, Lehman mengakuisisi lima pemberi pinjaman KPR bersama dengan BNC Mortgage dan Aurora Loan Services.
Lehmann Brothers bersama dengan banyak perusahaan keuangan lainnya, melebarkan sayap sebagai perusahaan pemberi pinjaman KPR atau mortgage-backed securities dan collateral debt obligations.
Lehman Brothers juga menyalurkan KPR kepada masyarakat berpenghasilan rendah maupun tidak tetap atau disebut sebagai subprime mortgage.
Melesatnya pasar perumahan AS mengubah Lehman Brothers dari perusahaan kecil menjadi bank investasi terbesar keempat di negeri Paman Sam. Namun, ketidakmampuan membayar cicilan dan kredit bermasalah menjadi risiko terbesar yang mengintai. Miskalkulasi inilah yang menyebabkan kebangkrutan Lehman Brothers
Kalkulasi tersebut nyatanya mengantarkan Lehman Brothers menuju liang kuburnya.
Bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), akhirnya mulai menaikkan tingkat suku bunga acuan pada 2004 untuk mengendalikan inflasi.
Naiknya suku bunga memengaruhi kenaikan bunga dan cicilan KPR. Imbasnya, masyarakat kategori subprime mortgage menjadi yang pertama menyatakan ketidaksanggupan membayar cicilan rumah.