IDXChannel - Pasar minyak global tengah bersiap menghadapi pembukaan perdagangan yang penuh gejolak pada Senin (23/6/2025) waktu Asia, menyusul serangan langsung Amerika Serikat (AS) terhadap fasilitas nuklir utama Iran akhir pekan lalu.
Serangan yang menargetkan tiga lokasi penting—Fordow, Natanz, dan Isfahan—dipandang sebagai eskalasi besar dalam konflik regional, memicu kekhawatiran akan potensi gangguan pasokan dan reaksi balasan dari Teheran.
Fokus utama pelaku pasar kini tertuju pada kemungkinan balasan militer dari Iran dan potensi terganggunya aliran minyak mentah global, yang sejauh ini masih belum terdampak langsung.
Menurut analisis FXEmpire, perdagangan elektronik awal diperkirakan dibuka dengan lonjakan tajam harga minyak, sebagai respons spontan terhadap ketegangan geopolitik yang meningkat. Perdagangan minyak WTI akan kembali dibuka pada pukul 22.00 GMT Minggu (pukul 05.00 WIB Senin), menjadi jendela pertama untuk melihat reaksi pasar pasca-serangan.
Skenario ekstrem kini semakin masuk akal. Oxford Economics sebelumnya memperkirakan harga Brent bisa melonjak hingga USD130 per barel jika Iran menutup penuh ekspor minyaknya dan menutup Selat Hormuz—jalur vital yang dilintasi sekitar 20 persen pasokan minyak dunia.
Di pasar derivatif IG Weekend Markets, kontrak turunan minyak melonjak 8,8 persen setelah serangan AS.Menurut analis dari IG, Tony Sycamore, jika level ini bertahan saat pasar resmi dibuka, WTI diperkirakan dibuka di kisaran USD80 per barel.
Ketidakpastian terbesar saat ini terletak pada langkah balasan Iran. Jika Teheran memilih opsi militer atau mengganggu pelayaran di Selat Hormuz, para analis memproyeksikan harga Brent bisa menembus USD120, bahkan mencapai USD130. Infrastruktur energi dan militer AS di Irak, Arab Saudi, dan UEA juga berisiko menjadi sasaran. Potensi perang asimetris, termasuk serangan drone dan siber, memperkuat alasan investor untuk melakukan lindung nilai agresif.
Sebaliknya, jika Iran memilih jalur diplomatik, harga minyak mungkin terkoreksi. Namun hal ini sangat bergantung pada apakah serangan AS dianggap sebagai aksi tunggal dan apakah China mampu mendorong Iran menahan diri. Dalam skenario ini, Brent diperkirakan stabil di kisaran USD65–USD70, dengan premi risiko USD5–USD8 tetap melekat.
Beberapa lembaga keuangan besar menunjukkan proyeksi yang berbeda. Goldman Sachs masih mempertahankan pandangan jangka panjang yang bearish, dengan proyeksi Brent di USD59 pada kuartal IV-2025. Meski demikian, Goldman mengakui adanya peningkatan premi risiko geopolitik. Sebaliknya, JPMorgan kini menganggap skenario ekstrem terkait Selat Hormuz sebagai hal yang realistis, dengan proyeksi harga Brent di kisaran USD120–USD130 jika konflik meluas.
Sementara Citi dan Commerzbank mengambil posisi tengah. Mereka menilai lonjakan harga hanya akan bersifat sementara selama pasokan fisik belum terganggu, meski tetap melihat level USD70 sebagai batas bawah baru dalam situasi geopolitik saat ini.
Dari sisi kebijakan moneter, lonjakan harga minyak bisa mempersulit langkah bank sentral, termasuk Federal Reserve (The Fed). Meski lonjakan jangka pendek cenderung menekan permintaan, harga minyak tiga digit yang bertahan dapat mendorong ekspektasi inflasi naik, sehingga menunda rencana pemangkasan suku bunga.
Secara keseluruhan, pasar minyak kini memasuki rezim harga yang didorong oleh risiko geopolitik. Dengan respons Iran yang masih belum jelas, arah risiko masih cenderung ke atas.
Para pelaku pasar kemungkinan bersikap defensif saat perdagangan dibuka, dengan fokus pada saham energi, layanan migas, dan energi alternatif sebagai bentuk lindung nilai strategis. Sampai situasi mereda, risiko kenaikan harga minyak tetap mendominasi. (Aldo Fernando)