Mengacu aturan itu, lantas, bagaimana nasib RIMO ke depannya?
RIMO awalnya mengoperasikan department store bernama Rimo. Sayangnya, bisnis tersebut tak berjalan mulus sehingga dilakukan sejumlah penutupan, yang membuat perseroan fokus di penyewaan sejumlah unit properti.
Selama tahun 2022 berjalan, perseroan terpantau tidak pernah mengumumkan kinerja perseroan. Dalam pemaparan sebelumnya, dikatakan bahwa perusahaan masih beroperasi melalui entitas anaknya dalam dua lini bisnis, yakni land development (pembangunan perumahan dan apartemen), dan property investment (hotel dan pusat perbelanjaan).
Selain karena pandemi Covid-19 dan kebijakan PPKM, perseroan memaparkan kendala lain berupa penyitaan seluruh aset tanah dan bangunan oleh Kejaksaan Agung yang dikatakan melumpuhkan lini usaha land development.
"Dampak terhadap operasional perseroan tidak bisa melanjutkan kepengurusan perizinan dan pembangunan proyek-proyek perumahan yang telah direncanakan dari dulu, dan ini mengancam kelangsungan hidup perusahaan," tulis perseroan setahun yang lalu.
Bergeser pada kondisi terkini per 31 Mei 2022, publik/masyarakat diketahui masih menjadi pemegang saham mayoritas RIMO sebesar 78,30%. Selanjutnya, NBS Clients menggenggam 10,58% saham, Teddy Tjokro 5,67%, dan PT Asabri (Persero) 5,67%.
Data PT Ficomindo Buana Registrar per Mei 2022 juga menunjukkan terdapat 6.032 total pemodal nasional perorangan, 102 pemegang saham institusi, 6 dana pensiun, 3 yayasan, dan 2 koperasi yang masih menanti kejelasan perusahaan. Dari pemodal asing tercatat sebanyak 21 perorangan, dan 52 perusahaan.
BEI telah memperingatkan potensi delisting RIMO selama lima kali sejak 18 Agustus 2020. Para pemegang saham kini menunggu tanggung jawab RIMO di tengah ketidakpastian kondisi, dengan harga saham yang terkapar di level gocap.
(FRI)