sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Mencungkil Potensi Untung dari Saham ESG

Market news editor Melati Kristina - Riset
22/05/2023 07:00 WIB
Praktik ESG menjadi fokus berbagai emiten di RI seiring dengan program pembangunan berkelanjutan yang digalakkan oleh pemerintah.
Mencungkil Potensi Untung dari Saham ESG. (Foto: investmentu.com)
Mencungkil Potensi Untung dari Saham ESG. (Foto: investmentu.com)

IDXChannel – Praktik Enviromental, Social dan Governance (ESG) tengah menjadi fokus berbagai emiten seiring dengan program pengembangan berkelanjutan oleh pemerintah yang berpotensi membawa prospek menarik bagi sektor ini ke depannya.

Menurut Menteri Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, isu climate change tengah membayangi Indonesia yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.

“Untuk menghadapi risiko perubahan iklim, banyak perusahaan dunia telah berkomitmen net-zero atau carbon-neutral untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan berinvestasi dalam menjaga kondisi iklim,” kata Airlangga, dikutip dari siaran pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 28 Juli 2022.

Terlebih, laporan Badan Meteorologi Dunia (WMO) pada Mei 2022 mengatakan, suhu udara permukaan global hingga akhir 2021 telah memanas sebesar 1,11°C dari baseline suhu global periode pra-industri (1850-1900).

Emisi gas rumah kaca terjadi semenjak dimulainya Revolusi Industri di Inggris antara tahun 1750-1850. Di periode ini, terjadi pemanfaatan batu bara besar-besaran untuk skala industri dimana hal tersebut terus berlanjut hingga saat ini yang memicu pemanasan global.

Lebih lanjut, atas kesadaran tersebut, banyak investor dan pengambil kebijakan menyadari pentingnya berinvestasi di bisnis yang mengadopsi langkah-langkah ESG untuk melindungi bisnis dari berbagai risiko di masa depan.

Airlangga mengatakan, implementasi ESG memiliki korelasi positif terhadap kinerja keuangan perusahaan.

“Perusahan dengan penerapan ESG kuat akan lebih mudah memasuki pasar baru dan memperluas operasi, karena lebih banyak negara yang memudahkan penerbitan izin bagi perusahaan semacam itu,” terang Airlangga.

Sementara, bisnis dengan tata kelola yang baik baik (good governance) akan mampu menghadapi berbagai tekanan dari regulator, para aktivis lingkungan, serikat pekerja, dan sebagainya.

Disamping itu, konsumen juga lebih menyukai merek produk yang menjunjung nilai-nilai yang baik dan ramah lingkungan.

Asal tahu saja, ESG merupakan kosep bisnis yang mengedepankan kegiatan pembangunan atau investasi yang berkelanjutan sesuai dengan lingkungan, sosial, dan tata kelola.

Dengan demikian, perusahaan yang menjalankan prinsip ESG dalam bisnis dan investasinya akan mengimplementasikan kebijakan perusahaan yang sejalan dengan ESG.

Sejalan dengan komitmen akan ESG, praktik yang melibatkan energi kotor mulai ditinggalkan. Hal ini menyebabkan sejumlah bank mulai menarik pendanaan ke sejumlah perusahaan batu bara.

Tercatat, perbankan internasional asal Asia seperti OCBC dan SMBC mulai menyampaikan komitmen mereka untuk menghentikan pendanaan untuk proyek perluasan pertambangan.

Sikap tersebut juga dilakukan oleh bank asal Australia, ANZ untuk menghentikan pendanaan pembangkit listrik tenaga batu bara baru.

Komitmen tersebut turut berdampak bagi emiten batu bara, yaitu PT Adaro Energy Indonesia (ADRO). Pada Juni 2022 lalu, bank asal Inggris, Standard Chartered memutuskan untuk berhenti menyediakan layanan keuangannya bagi ADRO.

Padahal, pada April 2021, Standard Chartered tercatat memberikan pinjaman bagi ADRO senilai USD400 juta yang jatuh tempo pada 2026.

Senada dengan Standard Chatered, bank asal Singapura, DBS juga mengurangi ekposur modal ke ADRO dan memangkas pendanaan yang cukup signifikan pada bank tersebut.

"Kami tidak berniat memperbarui pendanaan apabila bisnis tersebut masih didominasi batu bara," ujar juru bicara DBS Bank, dilansir Strait Times, Kamis (8/9/2022).

Tak hanya perbankan internasional, sejumlah bank BUMN juga menunjukkan komitmennya dalam membatasi pendanaan bagi perusahaan batu bara di Tanah Air.

Terlebih, tiga raksasa perbankan BUMN diketahui memberikan pinjaman jumbo bagi perusaaan batu bara. Bank tersebut salah satunya adalah PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang memberi pinjaman ke perusahaan batu bara sebesar USD2,46 miliar atau setara dengan Rp36 triliun (kurs Rp14.500/USD).

Selain itu, PT Bank Negara Indonesia (BBNI) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) juga tercatat memberikan pinjaman jumbo bagi emiten batu bara masing-masing sebesar USD1,83 miliar (Rp27 triliun) dan USD1,76 miliar (Rp26 triliun).

Adapun, BBRI menjadi perbankan pertama di Tanah Air yang menginisiasi pembatasan pembiayaan ke sektor energi fosil, termasuk perusahaan batu bara.

Selain itu, bank big four BUMN lainnya, BBNI juga menyampaikan komitmennya untuk tidak meningkatkan ekspansi kredit ke sektor batu bara dan mendukung pemerintah dalam mewujudkan net zero emission.

Tercatat, BBNI memberikan pembiayaan terhadap 65 perusahaan yang memiliki program Pengungkapan Publik untuk Kepatuhan Lingkungan (Proper).

Tak hanya pendanaan dari perbankan, sejumlah perusahaan modal ventura juga mulai berinvestasi di bisnis hijau yang menerapkan prinsip ESG.

East Ventures misalnya, yang mulai menggenjot investasi di perusahaan-perusahaan hijau yang bergerak di bidang climate-tech atau perusahaan teknologi terkait pengurangan emisi.

Menurut pihak East Ventures, saat ini perusahaan modal ventura tersebut telah melakukan pendanaan pada peruahaan yang sedang berkembang yang tengah berfokus terhadap bisnis hijau sesuai dengan prinsip ESG.

Selain itu, perusahaan investasi yang terafiliasi dengan Sadniaga Uno, PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG) juga fokus dalam berinvestasi di sektor bisnis hijau, khususnya Energi Baru Terbarukan (EBT).

Pihaknya mengatakan, di tahun 2023, Saratoga akan menargetkan investasi senilai USD100 juta hingga USD150 juta ke berbagai perusahaan, termasuk sektor EBT dan perusahaan yang menjalankan prinsip ESG.

Sektor ESG Mulai Diminati Investor

Seiring dengan komitmen berbagai perusahaan yang menjalankan praktik ESG, pelaku investor saham juga menunjukkan antusiasme dalam berinvestasi di emiten sektor ini.

Adapun, perusahaan yang menerapkan prinsip ESG juga memiliki potensi yang dilirik investor dibandingkan dengan perusahaan yang tidak menerapkan praktik ini.

Tercatat, investasi bertema ESG atau Sustainable Development Goals (SDGs) mengalami tren peningkatan seiring dengan semakin pedulinya investor terhadap isu-isu berkelanjutan.

Melansir data Kementerian Koordinator Koordinator Bidang Perekonomian, pada tahun 2016, Bursa Efek Indonesia (BEI) hanya memiliki 1 produk ESG I pasar modal. Sedangkan, jumlah tersebut naik drastis menjadi 15 produk dengan nilai Rp3,45 triliun.

Selain itu, pemerintah juga telah menerbitkan SDGs Bond pada 2021 lalu dan obligasi bertema SDG senilai total Rp35,2 triliun.

Adapun, potensi tersebut tentunya didukung oleh program taksonomi hijau yang disusun oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan program pemerintah yang mendorong ESG. Selain itu, proyek pendanaan hijau atau green financing juga menjadi incaran investor ke depannya.

Di samping itu, saat ini terdapat tiga indeks saham yang berfokus pada ESG yang memiliki kinerja moncer.

Indeks tersebut di antaranya adalah Indeks SRI KEHATI, ESGQKEHATI, dan ESGSKEHATI. Bahkan, indeks tersebut memiliki kinerja yang mengungguli indeks LQ45.

Secara historis, indeks SRI KEHATI juga memilki performa yang moncer. Menurut studi Ernst & Young pada 2020 lalu, performa SRI KEHATI lebih baik dibandingkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 8 persen year on year (yoy) selama periode Januari 2015 hingga Oktober 2019.

Sedangkan, di masa pandemi, yaitu pada 2020, indeks tersebut juga memilliki pemulihan lebih baik dibanding IHSG.

Sementara, menurut data BEI pada lanjutan sesi II, Jumat (19/5), Indeks SRI KEHATI naik 1,89 persen, berada di urutan kedua kinerja indeks paling tinggi pada periode ini.

Sementara, ESGQKEHATI dan ESGKEHATI juga menghijau masing-masing 1,77 persen dan 1,57 persen. Angka ini tentunya mengungguli indeks LQ45 yang menguat 1,34 persen pada sesi II, Jumat (19/5). (Lihat grafik di bawah ini.)

Adapun, pengamat pasar modal sekaligus Founder WH Project William Hartanto berpendapat, indeks ESG memiliki performa yang bagus karena diisi oleh saham-saham yang memiliki bobot besar terhadap IHSG.

“Jadi menurut saya, indeks ESG masih bisa mengungguli LQ45 dan masih terus dapat naik ke depannya,” kata William kepada IDX Channel, Jumat (19/5).

Saham ESG Punya Fundamental dan Prospek Menarik

Selain memiliki potensi menarik, saham-saham yang menerapkan prinsip ESG juga memiliki fundamental yang moncer.

Menurut Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta, saham-saham ESG yang memiliki potensi menarik di antaranya adalah bank big four yan mulai mendukung sektor energi bersih.

Di samping itu, di sektor energi minyak bumi, saham PT AKR Corporindo Tbk (AKRA) bisa dijadikan pilihan bagi investor yang ingin berinvestasi di saham ESG.

Selain emiten-emiten di atas, saham PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) dan PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) juga memiliki fundamental yang menarik.

Berbeda dengan Nafan, William menyebutkan, PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM), PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA), dan PT Charoend Poekphand Tbk (CPIN) merupakan saham di sektor ESG dengan kinerja fundamental yang baik.

Dari kinerja sahamnya, ERAA mencatatkan performa yang paling moncer di antara saham-saham ESG yang disebutkan di atas. (Lihat grafik di bawah ini.)

Data BEI pada sesi II, Jumat (19/5) mencatat, saham ERAA terkerek hingga 31,38 persen secara year to date (YTD).

Menyusul ERAA, saham BBRI juga melesat 10,32 persen secara YTD, diikuti oleh saham TLKM dan UNVR yang masing-masing naik 8 persen dan 4,97 persen sepanjang 2023.

Terakhir, saham bank big four BMRI juga tercatat tumbuh sebesar 2,77 persen secara YTD.

Sementara, dilihat dari kinerja keuangannya, sejumlah emiten ESG di atas membukukan kinerja yang moncer di kuartal I-2023.

Tercatat, BBCA membukukan laba bersih melejit hingga 43 persen menjadi Rp11,50 triliun. Sedangkan, pendapatan bunga bersih BBCA naik 28 persen menjadi Rp18,50 triliun di kuartal I-2023.

Selanjutnya, AKRA juga mencatatkan kinerja yang tokcer, ditandai dengan peningkatan laba bersih emiten sebesar 41,89 persen menjadi Rp607,28 miliar dan pendapatan bersih yang naik 8,19 persen menjadi Rp10,96 triliun.

Sementara, BBRI dan TLKM juga melaporkan kenaikan laba bersih masing-masing sebesar 27,37 persen dan 7,53 persen pada kuartal I-2023. (Lihat tabel di bawah ini.)

Disamping memiliki kinerja fundamental yang apik sepanjang 2023, emiten-emiten ESG juga mempunyai prospek menarik ke depannya seiring dengan prospek ekonomi hijau atau green economy yang menjadi fokus pemerintah di masa mendatang.

Nafan menyebutkan, saat ini pemerintah terus mengkampanyekan go green dan pembangunan berkelanjutan seiring dengan kesepakatan internasional mengenai perubahan iklim atau climate change.

Ini tentunya menjadi potensi yang menarik bagi sektor green economy maupun ESG ke depannnya terutama yang mendukung penerapan energi bersih.

“Sektor ESG punya masa depan yang cerah karena energi bersih dan praktik berkelanjutan mulai digalakkan dan didukung dengan stimulus dari pemerintah,” kata Nafan kepada IDX Channel, Jumat (19/5).

Adapun, program pemerintah yang berfokus pada ekonomi hijau seperti mobil listrik hingga pengembangan EBT bisa menciptakan banyak peluang investasi yang berbasis ESG di Indonesia.

Periset: Melati Kristina

(ADF)

Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.

Halaman : 1 2 3
Advertisement
Advertisement