IDXChannel – Kinerja saham emiten bank digital mulai meredup tahun ini setelah melewati masa euforia bank digital sepanjang tahun 2021 lalu.
Sebagai contoh, harga saham PT Bank Neo Commerce (BBYB) telah merosot hingga 67,85 persen dari harga tertingginya.
Melansir data Yahoo Finance, BBYB pernah menyentuh harga tertingginya di Rp2.800/saham pada perdagangan 20 Desember 2021. Sementara per Senin (14/11), harga saham BBYB terkontraksi menjadi Rp900/saham.
Selain BBYB, emiten bank digital PT Bank Aladin Syariah Tbk (BANK) juga mengalami harga saham yang lesu yaitu di Rp1.495/saham. Padahal, di tahun lalu harga sahamnya pernah melonjak menjadi Rp3.790/saham pada 1 April 2021.
Adapun sejumlah bank digital juga mengalami lonjakan harga saham yang signifikan di tahun 2021 hingga awal tahun 2022.
Sebut saja, PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI) yang harga sahamnya pernah mencapai Rp8.025/saham pada 15 November 2021. Namun hingga perdagangan Senin (14/11), harga saham BBHI sudah turun hingga 69,97 persen menjadi Rp2.410/saham.
Contoh lainnya yaitu PT Bank Jago Tbk (ARTO) yang mencapai all time high di awal tahun 2022. Yahoo Finance menyebutkan, harga saham ARTO pada 17 Januari 2022 melesat menjadi Rp19.000/saham.
Kendati pernah berada di level tersebut, harga saham ARTO saat ini ambruk di minus 69,87 persen menjadi Rp5.725/saham per Senin (14/11).
Maraknya Bank Digital Jadi Sentimen Positif
Melesatnya saham emiten-emiten bank digital di atas pada tahun 2021 hingga awal tahun 2022 tak lepas dari euforia peluncuran bank digital yang menjadi tren kala itu.
Adapun Senior Analyst PT Sucor Sekuritas, Edward Lowis berpendapat, maraknya bank digital di tengah masyarakat terjadi karena kurangnya akses layanan perbankan terutama segmen UMKM hingga individu yang belum terlayani oleh bank konvensional besar.
"Saat ini layanan konvensional itu hanya melayani sekitar 30-35 persen dari total masyarakat Indonesia. Artinya masih ada sekitar dua pertiga dari masyarakat itu yang belum terlayani oleh perbankan konvensional atau istilahnya masyarakat unbanked danunderbanked," kata Edward.
Unbanked dadalah sebutan untuk individu yang sudah cukup umur tetapi tidak memiliki rekening bank atau lebih suka melakukan transaksi keuangan secara tunai.
Sedangkan underbanked adalah orang yang sudah memiliki rekening bank tetapi belum bisa mengakses produk keuangan lain seperti Kartu Kredit, pinjaman modal kerja, KPR, dan lainnya.
Selain itu, ekosistem digital di Indonesia yang berkembang pesat juga menjadi faktor pendorong boomingnya bank digital di tengah masyarakat.
Edward juga mengatakan, peluang tersebut dapat dimanfaatkan sistem perbankan digital untuk mendukung ekonomi digital. Adapun fitur yang dapat dimanfaatkan yakni pay later, kredit virtual, dan lain sebagainya.
Terakhir, bank digital kian diminati masyarakat sebab mereka punya keunggulan dalam menekan biaya operasional karena memanfaatkan fitur digital. Sehingga, biaya admin akan lebih murah dibanding dengan bank konvensional yang memiliki cabang.
Kinerja YtD Bank Digital Ambles
Usai mengalami kejayaan di tahun 2021 hingga awal 2022, saham emiten bank digital sepanjang 2022 malah terkontraksi.
Melansir data Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Selasa (15/11) pukul 14.10, sejumlah emiten bank digital mencatatkan kinerja saham yang terkontraksi sepanjang 2022.
BBYB misalnya, yang sahamnya ambruk di minus 64,26 secara year to date(YTD). Sedangkan ARTO sahamnya anjlok hingga 62,66 persen sepanjang 2022.
Selain itu, saham emiten bank digital lainnya yang ambles secara YTD adalah BANK dan BBHI. Menurut data BEI pada periode yang sama, harga saham BANK dan BBHI masing-masing ambles di minus 35,15 persen dan minus 38,88 persen.
Kendati emiten-emiten bank digital mencatatkan harga saham yang ambruk sepanjang 2022, saham PT Bank Amar Indonesia Tbk (AMAR) masih mampu tumbuh hingga 10,74 persen secara YTD.
Terkendala Pemenuhan Modal Inti
Selain sahamnya terkontraksi secara YTD, emiten-emiten bank digital juga sedang menghadapi kendala pemenuhan modal inti minimum sebesar Rp3 triliun.
Berdasarkan data terakhir yang dihimpun OJK, sebanyak 37 bank yang terdiri dari 24 bank umum dan 13 BPD tercatat belum memenuhi ketentuan modal inti Rp3 triliun tersebut.
Setidaknya, dari jumlah tersebut, terdapat 16 bank mini yang melantai di bursa namun belum memenuhi modal inti, termasuk bank digital.
Sebagaimana ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perbankan harus memenuhi kewajiban modal inti minimum senilai Rp3 triliun hingga akhir 2022 guna memperkuat industri perbankan.
Adapun dikutip dari siaran pers OJK, pihak OJK memberikan sejumlah opsi bagi bank-bank yang belum memenuhi modal inti hingga akhir tahun ini.
“Hal yang mungkin dilakukan, pertama adalah merger paksa untuk memastikan bahwa ketentuan yang sudah ditentukan OJK antara lain dengan melakukan merger,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae dalam siaran pers OJK, Kamis (3/11).
Selain itu, opsi lainnya yaitu downgrading dari bank umum menjadi BPR hingga meminta likuidasi bagi bank yang tidak mampu mencapai permodalan inti sebesar Rp3 triliun.
Adapun sejumlah bank yang disebutkan di atas belum memenuhi modal inti hingga saat ini. Salah satunya yakni BANK yang jumlah modal intinya hanya sebesar Rp2,01 triliun per 30 September 2022.
Sementara bank digital lainnya yang modal intinya di bawah Rp3 triliun yaitu BBYB dan AMAR, masing-masing sebesar Rp2,11 triliun dan Rp1,84 triliun.
Guna memenuhi ketentuan modal inti minimum tersebut, emiten bank digital di atas melakukan aksi korporasi seperti rights issue hingga private placement.
Adapun BBYB optimis dapat memenuhi modal inti Rp3 triliun hingga akhir November 2022 melalui aksi rights issue.
"Dana yang didapat dari rights issue akan digunakan untuk memperkuat modal inti, serta untuk modal kerja pengembangan usaha perseroan," kata Direktur Utama BBYB Tjandra Gunawan dalam keterangan resminya, ditulis Rabu (9/11/2022).
Menyusul BBYB, AMAR juga akan melakukan rights issue sebesar 4,56 miliar sahamdengan harga pelaksanaan Rp280/saham. Dari aksi korporasi tersebut, AMAR akan meraup dana sebesar Rp1,28 triliun.
Adapun BANK menempuh private placement dalam memenuhi modal inti Rp3 triliun dengan menerbitkan saham baru sebanyak 1,37 miliar saham.
Periset: Melati Kristina
(ADF)
Disclaimer: Keputusan pembelian/penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.