Saat ini, investor juga lebih memilih instrumen obligasi tenor pendek dan memanfaatkan jadwal jatuh tempo yang sudah dekat sehingga risiko pelaju pasar lebih terjaga.
”Pada dasarnya fluktuasi pasar instrumen pendapatan tetap (fixed income) saat ini masih sangat tergantung dari data makroekonomi khususnya dari AS. Namun, kemungkinan turunnya suku bunga acuan global dan domestik masih menjadi tema besar tahun ini. Suku bunga global masih tinggi tetap tidak menurunkan daya tarik dari SBN karena tingkat imbal hasil (yield) real dari SBN Indonesia tenor 10 tahun yang berada di kisaran 3,9% masih cukup menarik,” tambahnya.
Adapun faktor utamanya adalah inflasi yang terjaga pada 2,75% pada Februari. Real yield tersebut, lanjutnya, masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, China, dan India. Saat ini selisih (spread) antara SBN tenor 10 tahun dengan Obligasi AS (US Treasury) tenor 10 tahun sudah menyempit, sebesar 236 basis poin (bps). Besaran 100 bps setara dengan 1%.
“Sempitnya selisih yield kedua instrumen itu menunjukkan pelaku pasar cukup prudent terhadap obligasi asal Indonesia dibanding negara-negara lain. Tenor 10 tahun adalah salah satu tenor acuan untuk pasar obligasi bersama dengan tenor 5 tahun, 15 tahun, dan 20 tahun. Harga obligasi pemerintah tenor 10 tahun bisa naik, sehingga yield saat ini yang ada di 6,5%-6,7%, nanti untuk akhir semester II/2024 akan bisa turun ke 6%,” ungkap Bella. (SNP)