IDXChannel - Rupiah masih belum mampu bangkit dari pelemahan sejak pekan lalu usai sempat mendapatkan ‘obat kuat’ berupa kenaikan suku bunga 25 basis points (bps) menjadi 6 persen oleh Bank Indonesia (BI).
Mata uang Garuda kali ini bertengger di level Rp 15.959 per dolar Amerika Serikat (AS) per pukul 11.29 WIB pada perdagangan awal pekan, Senin (23/10/2023).
Pelemahan rupiah melanjutkan tren setelah pekan lalu semakin terpuruk di level terlemah sejak April 2020 mencapai Rp15.875 per USD di pasar spot.
Mata uang Garuda terus mengalami tren pelemahan dalam tujuh pekan berturut-turut. Bahkan menjelang akhir pekan lalu, rupiah menjadi satu-satunya valuta Asia yang terlemah. (Lihat grafik di bawah ini.)
Berdasarkan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang berlangsung Kamis (19/10), bank sentral akhirnya menaikkan suku bunga kembali. BI akhirnya mengeluarkan jurus pamungkas untuk menyelamatkan rupiah dari tren pelemahan.
Mengutip Reuters, Selasa (17/10), BI diperkirakan akan mengikuti bank sentral di kawasan Asia Tenggara dan mempertahankan suku bunga acuan pada RDG.
Namun, prediksi mayoritas ekonom ini meleset. Nyatanya, hasil RDG BI memutuskan untuk menaikan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis points (bps) sebesar 6 persen. Sementara BI mempertahankan Deposit Facility sebesar 5,25 persen dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75 persen.
"Kenaikan ini untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah dari dampak ketidakpastian global," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo saat konferensi pers Kamis (18/10).
Sementara kinerja indeks dolar (DXY) terhadap sekeranjang mata uang pada perdagangan hari ini (23/10) masih menguat 0,13 persen di level 106,3.
Dolar menguat juga didorong oleh sinyal hawkish dari bank sentral AS The Federal Resererve (The Fed).
Sebagai informasi, Ketua The Fed Jerome Powell menyampaikan pidato pada Kamis (19/10) untuk menentukan arah kebijakan moneter bank sentral paling berpengaruh tersebut.
Dalam pidato terbarunya di Economic Club of New York Luncheon, New York, Powell memberi sinyal akan kemungkinan kenaikan suku bunga lebih lanjut jika diperlukan.
“Mengingat cepatnya pengetatan ini, mungkin masih ada pengetatan yang berarti yang akan dilakukan. Saya dan rekan-rekan berkomitmen untuk mencapai kebijakan yang cukup ketat untuk menurunkan inflasi secara berkelanjutan hingga 2 persen, dan untuk menjaga kebijakan tetap ketat hingga kami yakin bahwa inflasi berada pada jalur menuju tujuan tersebut,” ujar Powell dalam pidatonya dikutip dari website resmi The Fed Jumat (20/10).
Ini menunjukkan nilai tukar rupiah terlihat belum mampu bangkit meskipun telah dibantu upaya BI mengerek suku bunga acuan.
Riset Algo Research pada 22 Oktober lalu menyatakan, BI secara efektif merupakan garis pertahanan terakhir dan satu-satunya dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Riset Algo bahkan menyebutkan bahwa BI telah kehabisan alat untuk menopang mata uang karena sebagian besar hasil ekspor USD ditempatkan di luar negeri yang merupakan bentuk dukungan FX yang minimal dari surplus perdagangan di tengah arus keluar asing semakin cepat.
Terlihat arus keluar modal asing akan memperburuk depresiasi rupiah dimana mata uang Garuda juga semakin mendekati level psikologis Rp16.000 per USD.
Meskipun laju depresiasi lebih penting dibandingkan tingkat depresiasi sebenarnya, hal ini masih akan menghalangi investor asing untuk berinvestasi di Indonesia karena mereka juga perlu mempertimbangkan risiko mata uang.
Mengingat BI disebut sudah kehabisan alat untuk mendukung rupiah, maka satu-satunya cara adalah menaikkan suku bunga kebijakan yang semakin menghambat daya tarik pasar saham.
Ini terlihat dari kurangnya katalis di pasar saham dan meningkatnya imbal hasil obligasi global seperti US Treasury 10-year yang sempat tembus 5 persen pekan lalu.
Menurut Algo Research, kondisi ini menyebabkan arus keluar asing bersih.
“Kami melihat arus keluar ekuitas selama 4 bulan berturut-turut berjumlah Rp6 triliun, sementara pasar obligasi mengalami arus keluar selama 3 bulan berturut-turut sebesar -Rp43triliun, di mana keduanya telah menyebabkan depresiasi Rupiah dan cadangan devisa turun secara substansial,” tulis Algo dalam laporannya, dikutip Senin (23/10).
Selain itu, perlu diketahui bahwa target inflasi BI pada tahun 2024 bahkan lebih rendah lagi yaitu sebesar 1,5-3,5 persen (dari sebelumnya 2-4 persen).
Kondisi ini menyiratkan prospek permintaan yang jauh lebih rendah. Terutama karena konsumen lebih banyak menabung daripada pengeluaran dalam perekonomian di tengah tingkat suku bunga yang tinggi.
Komoditas juga berada di ambang risiko mengingat perang Timur Tengah yang tengah berkecamuk, meskipun di lain pihak menguntungkan sektor tertentu seperti emas dan minyak.
Namun, tekanan sentimen global kini cukup membuat daya tarik aset-aset emerging market termasuk Indonesia menjadi menurun.
Hal ini juga diperkirakan akan berlanjut dan menahan peluang rupiah berbalik arah. Dolar AS masih jadi aset safe haven yang banyak diincar investor di masa krisis seperti kekhawatiran akan perang yang terus berlanjut. (ADF)