IDXChannel – Bursa Efek Indonesia (BEI) akan bersiap menyambut kedatangan emiten BUMN, termasuk anak usahanya, pada tahun ini hingga 2023. Dua di antaranya, anak usaha PT Pertamina (Persero) dan subholding kelapa sawit PTPN III, PalmCo.
Menilik gelaran penawaran saham perdana (IPO) emiten pelat merah setidaknya sejak 2014, kinerja saham-saham BUMN banyak yang merosot, alias lebih rendah tinimbang harga IPO-nya.
Diwartakan sebelumnya, Holding Perkebunan Nusantara atau PTPN III menargetkan pendanaan baru melalui IPO PalmCo sebesar Rp5 triliun-Rp10 triliun. Penawaran saham perdana tersebut direncanakan pada 2023 mendatang.
Direktur Utama PTPN Mohammad Abdul Ghani menjelaskan, pihaknya terlebih dahulu mengkonsolidasikan seluruh aset berupa kebun kelapa sawit untuk dikelolah oleh PalmCo, sebelum IPO dilakukan di Bursa Efek Indonesia (BEI) di tahun depan.
"Hitung-hitungan saya Rp 5 triliun hingga Rp10 triliun. Itu diproyeksikan dari IPO itu," ungkap Ghani saat ditemui wartawan di Kementerian BUMN, Senin (22/8/2022).
Holding Perkebunan Nusantara memang membidik pendirian tiga subholding. Selain PalmCo, dua subholding lain adalah Sugar Co dan Supporting Co.
Sebelum PalmCo, sejumlah BUMN dan entitas anaknya tercatat menyatakan keinginannya dan sedang bersiap untuk melantai di BEI, seperti anak usaha Pertamina, PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), yang dikabarkan berencana IPO pada tahun ini.
Sejak 2014, Banyak yang ‘Boncos’Sebagai perbandingan historis, mari kita simak deretan saham BUMN dan afiliasinya yang melantai sejak 8 tahun lalu. (Lihat tabel di bawah ini.)
Sejak 2014, tercatat sebanyak 7 saham emiten afiliasi BUMN yang melantai di bursa, mayoritas dari sektor konstruksi.
Namun, dari 7 saham tersebut, 6 di antaranya membukukan kinerja saham yang kurang menggembirakan—bahkan ada yang mendekati level gocap (Rp50/saham) dan disuspensi oleh bursa.
Saat ini, mengacu data BEI, Rabu (24/8) per pukul 10.50 WIB, saham-saham tersebut diperdagangkan di bawah harga IPO.
Dari 6 saham yang merosot tersebut, 5 saham merupakan anak usaha BUMN Karya (konstruksi).
Sebut saja, anak usaha PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI) PT Adhi Commuter Properti Tbk (ADCP), anak usaha PT PP (Persero) Tbk (PTPP) PT Presisi Tbk (PPRE) dan PT Properti Tbk (PPRO).
Kemudian, anak usaha PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT) PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP) dan anak usaha PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) PT Wijaya Karya Beton Tbk (WTON).
Adapun, PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) merupakan anak usaha PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM).
Mari kita ulas tipis-tipis.
Saham ADCP, yang teranyar di antara yang lain, terus dalam tren menurun sejak melantai di bursa pada 23 Februari 2022. Bahkan, pada masa awal-awal ‘manggung, saham ini seringkali merosot ke zona merah hingga minus 6%.
Alhasil, saham ini terjun 40,77% sejak listing 6 bulan lalu.
Sementara, penurunan terparah terjadi di saham WSBP yang minus hingga 80,61% ke Rp95/saham.
Hal tersebut terjadi seiring kasus gagal bayar bunga obligasi PUB I Tahap II WSBP.
Bahkan, sejak 31 Januari 2022, BEI melakukan suspensi atawa penghentian perdagangan saham WSBP akibat perkara tersebut.
Manajemen WSBP pun memberikan penjelasan atas potensi penghapusan atau delisting dari BEI.
Corporate Secretary WSBP, Fandy Dewanto menjelaskan default pembayaran tersebut diakibatkan penetapan WSBP ke dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk Perkara Nomor: 497/Pdt.Sus./PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst pada 25 Januari 2022.
"Status PKPU tersebut menyebabkan WSBP masuk ke dalam masa Mandatory Standstill," ungkap Fandy, Rabu (3/8/2022).
Berdasarkan hasil putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta pada Selasa, 28 Juni 2022 menyatakan bahwa status PKPU WSBP resmi telah berakhir.
Adapun hasil voting para kreditur yang telah dilakukan pada 17 dan 20 Juni 2022 adalah sebesar 80,6 persen secara nilai utang, 88,9 persen headcount Kreditur Separatis, 92,8 persen untuk nilai utang, 96,4 persen secara headcount Kreditur Konkuren menyatakan setuju.