Sampai dengan saat ini, lanjut Fandy, WSBP tengah menunggu Putusan Perdamaian PKPU berkekuatan hukum tetap (Inkracht). Putusan Perdamaian belum dapat Inkracht dikarenakan terdapat permohonan kasasi oleh salah satu kreditur WSBP, yaitu Bank DKI.
"Dalam hal ini manajemen menghormati permohonan kasasi tersebut dan akan terus mengawal prosesnya," kata dia.
Manajemen pun berharap suspensi perdagangan atas saham WSBP dapat dicabut setelah adanya Putusan Perdamaian yang Inkracht. Manajemen meyakini bahwa dicabutnya suspensi akan memberikan manfaat bagi para pemegang saham WSBP.
WSBP juga berkomitmen untuk mengakselerasi pemulihan kinerja operasional dan keuangan pasca pandemi Covid-19 melalui strategi perbaikan antara lain fokus pada proyek Waskita Grup, khususnya proyek Penyertaan Modal Negara (PMN) dan proyek pemerintah.
Di samping ADCP dan WSBP, saham anak usaha PTPP, PPRO, saat ini sedang terbenam di kisaran level gocap, tepatnya Rp52/saham.
Setelah sempat uptrend sejak listing pada 2015 silam hingga menyentuh level Rp1.400-an per saham pada Oktober 2016, saham PPRO dalam tren menurun usai stock split (pemecahan nilai nominal saham) pada Februari 2017.
Namun, ada yang bersinar di antara saham-saham anak usaha BUMN Karya yang loyo di atas, yakni PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) alias BSI. Sejak awal manggung saham ini naik 200-an persen.
IPO dengan panji PT BRI Syariah pada Mei 2018, saham BRIS menemukan momentum kenaikan setidaknya pada Oktober 2020, ketika rencana penggabungan (merger) semakin beredar luas di pasar.
Bahkan, saham BRIS sempat menembus level Rp3.770/saham pada medio Januari 2021.
Kendati demikian, sejak menyentuh puncak tertinggi pada Januari tahun lalu, saham BRIS dalam tren menurun. Secara year to date (ytd), saham ini minus 13,76%.
Asal tahu saja, BSI merupakan hasil merger 3 bank syariah BUMN, yakni PT Bank Syariah Mandiri, PT BNI Syariah dan PT BRISyariah. (ADF)