IDXChannel - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup menguat pada akhir perdagangan Jumat (12/9/2025). Rupiah naik 86,50 poin atau sekitar 0,53 persen ke level Rp16.375 per USD.
Menurut Pengamat Pasar Uang Ibrahim Assuaibi, laporan pemerintah Amerika Serikat (AS) pada hari Kamis menunjukkan harga konsumen AS naik 0,4 persen pada Agustus. Alhasil, mendorong inflasi tahunan menjadi 2,9 persen, tertinggi dalam tujuh bulan.
“Namun, pasar tenaga kerja menunjukkan tanda-tanda pelemahan lebih lanjut, dengan klaim pengangguran mingguan naik ke level tertinggi dalam hampir empat tahun dan pertumbuhan penggajian melambat,” ujar Ibrahim dalam risetnya.
Ibrahim menuturkan, pasar semakin yakin akan pelonggaran kebijakan yang akan segera terjadi setelah data harga produsen AS yang lebih lemah dari perkiraan dan revisi besar-besaran terhadap angka ketenagakerjaan resmi memperkuat tanda-tanda pasar tenaga kerja yang mendingin.
Pasar kini melihat peluang pemangkasan suku bunga hampir sepenuhnya pada pertemuan kebijakan 16-17 September, dengan beberapa investor bertaruh pada jalur pelonggaran yang lebih agresif.
Selain itu, AS mengupayakan tarif yang lebih ketat bagi pembeli minyak Rusia Minyak mendapat dukungan dari sejumlah laporan minggu ini yang menunjukkan AS mengupayakan sanksi yang lebih keras bagi pembeli utama minyak Rusia, khususnya India dan China.
AS berupaya menekan negara-negara G7 untuk mengenakan tarif yang jauh lebih tinggi terhadap China dan India atas pembelian minyak Rusia, Financial Times melaporkan pada hari Kamis.
Kedua negara tersebut telah menghadapi tarif AS sekitar 50 persen, tetapi belum menunjukkan niat untuk mengurangi pembelian minyak mereka dari Moskow. AS menyerukan tarif 100 persen dan sebelumnya terlihat meminta Uni Eropa untuk meningkatkan tarifnya terhadap China dan India.
Dari sentimen dalam negeri, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa kembali mengkritik kebijakan fiskal dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebelumnya hingga moneter dari Bank Indonesia (BI) yang berkontribusi terhadap melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Perlambatan disebabkan oleh besarnya dana pemerintah yang berasal dari penerimaan negara hanya diendapkan di bank sentral, nilainya pernah menyentuh Rp800 triliun.
Minimnya uang yang beredar beberapa waktu belakangan membuat otoritas fiskal maupun moneter berdosa, karena memicu kecilnya pertumbuhan ekonomi. Khususnya, saat pemerintahan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi).
Adapun BPS mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 sebesar 5,12 persen yoy dari kuartal II-2024. Pada kuartal sebelumnya yakni kuartal I-2025, pertumbuhan lebih kecil yakni 4,87 persen yoy.
Selain itu, langkah BI menerbitkan instrumen utang seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), turut mendorong perbankan justru ramai-ramai menaruh dananya pada instrumen tersebut, bukan justru menyalurkannya ke kredit untuk sektor riil sehingga ekonomi melambat yang berdampak terhadap daya beli menurun.
Dari sisi fiskal, minimnya uang beredar di sistem perekonomian karena belanja pemerintah yang lambat. Dana yang dihimpun dari utang hingga pemungutan pajak lalu disebut hanya parkir di BI.
Oleh karena itu, agar ekonomi kembali menggeliat maka sebagian dana yang disimpan pemerintah di BI Rp200 triliun untuk disalurkan ke lima himbara: Bank Mandiri, BNI, BRI, BTN, BSI. Dana itu akan efektif berada di himbara dengan harapan disalurkan untuk kredit kepada sektor riil.
"Berdasarkan analisis tersebut, diprediksikan mata uang rupiah akan bergerak fluktuatif pada perdagangan selanjutnya dan berpotensi ditutup menguat dalam rentang Rp16.320-Rp16.380 per USD," katanya.
(Dhera Arizona)