sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

Selain WIKA, Pelunasan Obligasi Emiten-Emiten Ini Bermasalah

Market news editor Maulina Ulfa - Riset
18/12/2023 13:09 WIB
Emiten BUMN Karya PT Wijaya Karya (Persero) Tbk memutuskan menunda pembayaran pokok Sukuk Mudharabah Berkelanjutan I Wijaya Karya Tahap I tahun 2020 Seri A.
Selain WIKA, Pelunasan Obligasi Empat Emiten Ini Bermasalah. (Foto: Freepik)
Selain WIKA, Pelunasan Obligasi Empat Emiten Ini Bermasalah. (Foto: Freepik)

IDXChannel - Emiten BUMN Karya PT Wijaya Karya (Persero) Tbk memutuskan menunda pembayaran pokok Sukuk Mudharabah Berkelanjutan I Wijaya Karya Tahap I tahun 2020 Seri A bernilai Rp184 miliar.

Perseroan mempertimbangkan kondisi saat ini yang masih dalam status restrukturisasi keuangan. Pertimbangan selanjutnya adalah pemberlakuan equal treatment kepada kreditur, termasuk kepada para pemegang obligasi PUB I Tahap 1 tahun 2020.

“Manajemen perseroan memutuskan untuk melakukan penundaan pembayaran pokok Sukuk Mudharabah Berkelanjutan I Wijaya Karya Tahap I Tahun 2020 Seri A yang jatuh tempo pada tanggal 18 Desember 2023,” kata Corporate Secretary WIKA Mahendra Vijaya, Jumat (15/12/2023).

Selain itu, jelas Mahendra, perseroan juga telah menyampaikan Keterbukaan Informasi atas adanya penilaian dari Pefindo sebagai Credit Rating Agency Perseroan dimana pada tanggal 13 Desember 2023 telah dilakukan penilaian pada surat berharga Perseroan dan Pefindo memberikan rating idCCC dengan kategori Credit Watch dari sebelumnya idBBB dengan kategori negative outlook.

“Tindakan pemeringkatan ini terkait dengan keterbukaan informasi tanggal 4 Desember 2023 dimana WIKA belum memperoleh persetujuan dari pemegang Sukuk Mudharabah Berkelanjutan I Tahap I Tahun 2020 seri A senilai Rp184 Miliar yang akan jatuh tempo pada tanggal 18 Desember 2023,” jelas Mahendra.

Perseroan mengakui terdapat keterbatasan modal kerja pada akhir tahun yang menjadi salah satu dasar pertimbangan memutuskan penundaan pelunasan utang tersebut.

“Proyeksi arus kas perseroan di akhir tahun 2023, di mana perseroan memiliki keterbatasan dan memprioritaskan penggunaan kas untuk modal kerja sebagai bagian dari langkah penyehatan Perseroan,” tuturnya.

Pilihan yang diambil entitas BUMN Karya ini sejatinya merupakan buntut dari kegagalan perusahaan dalam memperoleh persetujuan investor dalam Rapat Umum Pemegang Sukuk (RUPSU) selama dua kali, tercatat pada 20 Oktober 2023 dan 30 November 2023.

WIKA saat itu mengusulkan adanya penundaan jatuh tempo pembayaran pokok Sukuk Mudharabah Berkelanjutan I Wijaya Karya Tahap I Tahun 2020 Seri A selama dua tahun. Karena gagal dapat restu, maka jatuh tempo utang yang sudah di depan mata terpaksa ditunda.

Sejumlah Kasus Masalah Utang Korporasi

Tak hanya WIKA, terdapat sejumlah emiten yang tercatat bermasalah dengan utang obligasinya. Di antaranya adalah PT Waskita Karya (Persero) Tbk yang juga merupakan emiten konstruksi pelat merah alias milik BUMN.

“Mempertimbangkan Perusahaan tidak membayar kupon obligasi yang jatuh tempo pada 16 November 2023, kami meyakini bahwa WSKT tidak akan memenuhi kewajiban tersebut sampai dengan masa remedial 14 hari kerja berakhir, seperti yang diatur di perjanjian perwaliamanatan,” tulis PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) dalam laporannya.

Per 2 Oktober 2023, WSKT diberitakan kembali menunda pembayaran utang obligasi senilai Rp941 miliar. Utang tersebut berasal dari obligasi berkelanjutan III Waskita Karya tahap III Tahun 2018 Seri B. Surat utang ini tercatat memiliki tingkat bunga sebesar 9,75 persen per tahun, dengan masa jatuh tempo pada 28 September 2023.

Sementara dalam kasus WIKA, Sukuk Mudharabah Berkelanjutan I Wijaya Karya Tahap I Tahun 2020 memiliki nilai pokok keseluruhan sebesar Rp500 miliar, yang terbagi dalam tiga seri. (Lihat tabel di bawah ini.)

Seri A berjangka waktu tiga tahun terhitung sejak tanggal 18 Desember 2020 dengan jumlah sebesar Rp184 miliar. Seri B memiliki jangka waktu lima tahun senilai Rp159 miliar, dan Seri C bertenor tujuh tahun senilai Rp157 miliar.

Terlepas dari itu, Mahendra memaparkan, pihaknya menegaskan tetap melakukan pembayaran pendapatan bagi hasil untuk Sukuk Mudharabah Berkelanjutan I Wijaya Karya Tahap I Tahun 2020 seri A, B, dan C.

Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat memberi sanksi suspensi bagi sejumlah emiten yang terindikasi melakukan penundaan bayar utang berupa obligasi dan sukuk.

Salah satunya menimpa emiten telekomunikasi PT Omni Inovasi Indonesa Tbk (TELE). Per Selasa, (27/6/2023) TELE tidak dapat ditransaksikan di seluruh pasar.

"Perseroan telah menyampaikan permohonan penundaan pembayaran pokok dan bunga atas Obligasi Berkelanjutan I Tiphone Tahap II Tahun 2016 Seri C (TELE01CCN2), Obligasi Berkelanjutan I Tiphone Tahap III Tahun 2017 Seri B (TELE01BCN3) dan Obligasi Berkelanjutan II Tiphone Tahap II Tahun 2019 (TELE02CN2),"dikutip laman BEI, Selasa (27/6/2023).

Tak hanya saham TELE, suspensi juga dilakukan kepada Obligasi Berkelanjutan I Tiphone Tahap II Tahun 2016 Seri C (TELE01CCN2), Obligasi Berkelanjutan I Tiphone Tahap III Tahun 2017 Seri B (TELE01BCN3) dan Obligasi Berkelanjutan II Tiphone Tahap II Tahun 2019 (TELE02CN2).

Belajar dari Evergrande China

Kasus gagal bayar surat utang korporasi setidaknya perlu diminalisir untuk mendukung kepercayaan investor. Ini karena penundaan pembayaran pokok obligasi, atau sukuk, dan disertai penurunan peringkat oleh lembaga pemeringkat kredit seringkali menciptakan ketidakpastian di pasar modal.

Penurunan peringkat juga mencerminkan potensi masalah finansial yang dihadapi oleh perusahaan. Masalah finansial, seperti utang yang tinggi atau ketidakmampuan untuk memenuhi kewajiban keuangan, dapat menciptakan ketidakpastian signifikan bagi investor. Hal ini dapat memberikan dampak negatif terhadap reputasi perusahaan dan mengakibatkan penurunan kepercayaan dari pemegang saham.

Tahun ini, pelajaran berharga datang dari kasus gagal bayar obligasi paling menghebohkan yang datang dari pengembang properti berbasis negeri Panda, China Evergrande Group.

Evergrande Group juga melewatkan pembayaran obligasi lanjutan pada akhir September 2023 setelah sebelumnya juga melewatkan kewajiban serupa pada Agustus 2023.

Hengda Real Estate, unit andalan Evergrande di China daratan melewatkan pembayaran pokok dan bunga atas obligasi dalam negeri senilai 4 miliar yuan (USD547 juta), kata perusahaan itu dalam pengajuan ke Bursa Efek Shenzhen.

Evergrande, yang memiliki total kewajiban sebesar USD328 miliar per akhir Juni 2023 pertama kali gagal membayar utangnya pada 2021 dan memicu krisis yang terus membebani sektor properti China secara luas.

Sebagai informasi, sepanjang tahun ini, Pefindo mencatat penerbitan surat utang (obligasi) korporasi secara nasional di Indonesia mencapai Rp120,60 triliun hingga November 2023.

Direktur Utama Pefindo Irmawati Amran menyebutkan sejumlah Rp36,07 triliun dari total surat utang korporasi diterbitkan oleh perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan senilai Rp84,52 triliun diterbitkan oleh perusahaan non-BUMN.

“Untuk penerbitan surat utang total Rp120,60 triliun sampai November 2023, dimana BUMN menerbitkan Rp36,07 triliun, non-BUMN menerbitkan Rp84,52 triliun,” ujar Irmawati dikutip Antara, (11/12/2023).

Dari sisi industri, Ia menjelaskan penerbitan surat utang korporasi nasional didominasi dari industri multifinance yang mencapai Rp32,76 triliun, diikuti industri pulp dan kertas senilai Rp19,58 triliun, lalu industri perbankan senilai Rp12,64 triliun.

Kemudian, industri lembaga keuangan khusus mencapai Rp10,14 triliun, diikuti industri telekomunikasi senilai Rp9,44 triliun, lalu industri perusahaan induk senilai Rp9,10 triliun. (ADF)

Halaman : 1 2
Advertisement
Advertisement