"DJP berpendapat porsi harga Rp/M3 tersebut sebagai penggantian jasa distribusi yang dikenai PPN, sedangkan PGN berpendapat harga dalam US$/MMBTU dan Rp/M3 merupakan satu kesatuan harga gas yang tidak dikenai PPN," ujar Rahmat dalam keterangan resmi, Selasa (5/1/2021).
Ketiga, atas sengketa tersebut, DJP menerbitkan 24 surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) dengan total nilai Rp 4,5 triliun untuk 24 masa pajak. Keempat, selain sengketa tersebut, perseroan plat merah juga memiliki dengan DJP untuk jenis pajak lainnya selama periode 2012-2013 melalui penerbitan 25 SKPKB dengan nilai Rp 2,2 miliar.
Akibat dari sengketa tersebut maka perseroan berpotensi berkewajiban membayar pokok sengketa sebesar Rp3,06 triliun ditambah potensi denda. Karena itu, PGN tetap berupaya menempuh upaya-upaya hukum yang masih memungkinkan untuk memitigasi putusan Mahkamah Agung.
Dijelaskan Rachmat, sejalan dengan upaya hukum pada perkara tersebut, perseroan akan mengajukan permohonan kepada DJP terkait penagihan pajak agar dilakukan setelah upaya hukum terakhir sesuai peraturan Perundang-Undangan, sehingga perseroan dapat mengelola kondisi keuangan dan tetap dapat melaksanakan bisnis ke depannya dengan baik, termasuk menjalankan penugasan Pemerintah.
“Sebagai pengelola 96 persen infrastruktur nasional dan 92 persen niaga gas bumi, PGN berupaya terus mendukung visi misi pemerintah untuk mendongkrak konsumsi gas domestik. Hal ini penting untuk menunjang perkembangan ekonomi nasional, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujar Rachmat. (*)