Tujuan utama BI menyusun daftar ini adalah untuk mencegah terjadinya kecurangan, khususnya penggunaan cek atau bilyet giro yang tidak memiliki dana. Dalam beberapa kasus, seseorang mungkin mencoba mencairkan cek atau giro meskipun rekeningnya telah ditutup atau tidak memiliki saldo yang cukup.
Melalui DHN, bank dapat mendeteksi dan menghindari risiko semacam ini lebih dini. Berbeda dengan BI Checking yang berupa riwayat kredit nasabah, DHN adalah kebijakan guna mengurangi praktik penyebaran bilyet giro/cek kosong.
Untuk mengetahui apakah Anda tercatat dalam Daftar Hitam Nasional (DHN) atau tidak, salah satu indikasinya adalah saat Anda menerima Surat Keterangan Penolakan (SKP) ketika melakukan transaksi menggunakan cek atau bilyet giro kosong.
Sebelum SKP diterbitkan dan diberikan kepada pemilik rekening, terdapat serangkaian prosedur yang dilakukan oleh Bank Tertarik (bank yang menarik dana) dan pihak terkait lainnya melalui sistem Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI). Prosedurnya adalah sebagai berikut.
- Bank Tertarik wajib mengisi informasi secara lengkap dan akurat dalam formulir Data Kliring Elektronik (DKE) Debet Kliring Pengembalian untuk diserahkan ke penyelenggara kliring.
- Berdasarkan DKE tersebut, Bank Tertarik menyusun dokumen Daftar Data Kliring Elektronik (DKE) yang Ditolak per Peserta Pengirim (D3P3) dan mengirimkannya ke Bank Penagih.
- Penyelenggara Kliring memproses DKE tersebut dan mendistribusikannya kembali ke Bank Penagih.
- Bank Penagih kemudian mencetak SKP berdasarkan data DKE yang diterima.
- SKP yang telah dicetak dicocokkan dengan D3P3 untuk memastikan keakuratannya.
- Setelah itu, Bank Penagih akan menyampaikan SKP kepada pemilik rekening atau pemegang cek/giro yang ditolak.
SKP ini dibuat dalam dua rangkap: satu untuk pemegang rekening, dan satu lagi untuk arsip di Bank Penagih. Dokumen ini menjadi bukti resmi bahwa transaksi ditolak karena tidak tersedia dana yang mencukupi atau rekening telah tidak aktif.