sosmed sosmed sosmed sosmed
get app
Advertisement

PP 28/2024 Beri Kepastian Bagi Pelaku Bisnis Sektor Kesehatan

News editor Kunthi Fahmar Sandy
26/09/2024 19:34 WIB
UU Kesehatan dan PP nomor 28 memberikan kepastian hukum bagi dunia usaha yang berkecimpung di sektor kesehatan.
PP 28/2024 Beri Kepastian Bagi Pelaku Bisnis Sektor Kesehatan (FOTO:Dok Ist)
PP 28/2024 Beri Kepastian Bagi Pelaku Bisnis Sektor Kesehatan (FOTO:Dok Ist)

IDXChannel - Pemberlakuan Undang-Undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023 dan aturan turunannya melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.28 tahun 2024 menuai apresiasi publik. 

Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah Redjalam mengatakan, UU Kesehatan dan PP Nomor. 28 memberikan kepastian hukum bagi dunia usaha yang berkecimpung di sektor kesehatan.

Pelaku bisnis bisa kembali fokus mengembangkan usaha dan memenuhi kebutuhan konsumen karena merasa telah memiliki batasan atau pagar yang jelas, sehingga tidak keluar dari koridor hukum. 

Regulasi baru ini dianggap cukup memadai dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, melindungi masyarakat, menjaga kepentingan publik dan membantu mengatasi berbagai permasalahan kesehatan di Indonesia.

"Beleid baru ini mendapatkan penilaian positif karena dianggap mampu mengakomodir seluruh aspek dalam sistem kesehatan di Indonesia. Seperti mengatur berbagai upaya yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif dengan tujuan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan serta mengatur kewenangan dan tanggung jawab tenaga kesehatan," ujar Piter dalam rilis Kamis (26/9/2024).  

Undang-Undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023 merupakan tonggak penting perwujudan amanah UUD 1945, memastikan kehadiran negara dalam pengaturan kesehatan di Indonesia. 

“PP No. 28 Tahun 2024 menyatakan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, merata, dan  terjangkau oleh masyarakat. Upaya kesehatan tersebut ditujukan untuk mewujudkan derajat kesehatan  yang setinggi-tingginya bagi masyarakat. Kami apresiasi niat baik pemerintah,” kata Piter.

Meski demikian, UU Kesehatan tetap menyisakan sejumlah tantangan besar, khususnya dalam menindaklanjuti semua materi muatan UU Kesehatan ke dalam Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya. 

Menilik soal kesehatan bayi, PP No.28 tahun 2024 menyatakan bahwa setiap bayi berhak memperoleh air susu ibu (ASI) eksklusif sejak dilahirkan sampai usia 6 bulan, kecuali atas indikasi medis. Pengecualian terkait indikasi medis ini juga sejalan dengan the International Code of Marketing of Breast-Milk Substitutes (WHO Code). 

“Dengan kata lain, PP No. 28 tahun 2024  mengakui bahwa susu formula dapat digunakan untuk menggantikan ASI ketika ASI Eksklusif tidak dapat diberikan dan donor ASI tidak tersedia. Ini bentuk konfirmasi sekaligus validasi bahwa susu formula dapat dikonsumsi bayi usia 0-6 bulan,” kata Piter. 

WHO telah menerbitkan WHO Code pada tahun 1981 dengan tujuan memberikan dukungan dan perlindungan terhadap proses menyusui dengan cara mengatur praktik perdagangan formula bayi dan produk Pengganti ASI (PASI) lainnya. 

Menurut Piter, peraturan turunan PP No.28 Tahun 2024 tidak perlu merubah ketentuan yang sudah ada saat ini, yaitu pembatasan kegiatan promosi susu formula sesuai dengan PP No.69 Tahun 1999. 

“Bahwa PP sebelumnya (PP No.69 Tahun 1999) sudah mengatur ketat iklan tentang pangan yang diperuntukkan bagi bayi yang berusia sampai dengan satu tahun, di mana industri sudah ikut aturan main karena diatur secara ketat,” kata Piter. 

Piter menambahkan bahwa yang lebih penting dilakukan adalah edukasi mengenai nutrisi yang dapat dilakukan bersama antar pemangku kepentingan. Apalagi angka prevalensi stunting belakangan menunjukkan kondisi yang kurang menggembirakan. 

Data BPS menunjukkan bahwa angka pemberian ASI Eksklusif di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 2020 hingga 2022 dari 68,84 persen menjadi 72,04 persen (2022) dan 73,9 persen (2023). Namun demikian, di sisi lain, pada tahun 2023 terjadi perlambatan penurunan angka prevalensi stunting yang hanya turun 0,1 persen dari 21,6 persen di tahun 2022 menjadi 21,5 persen di tahun 2023. 

“Melihat kondisi yang ada mengenai pemberian ASI Eksklusif dan juga perlunya percepatan penurunan angka stunting, diperlukan penciptaan kondisi yang mendukung pemberian ASI Eksklusif seperti ruang laktasi di kantor dan ruang publik, serta penguatan akses informasi atas pilihan nutrisi yang sehat bagi bayi,” kata Piter. 

Piter mengharapkan agar pemerintah bisa menjaga momentum positif ini untuk mengupayakan perbaikan status kesehatan dan kondisi perekonomian. 

Diperlukan kondisi regulasi yang kondusif sehingga angka pemberian ASI Eksklusif terus meningkat, angka prevalensi stunting semakin membaik dan kontribusi industri nutrisi terhadap perekonomian juga terjaga. 

Hal ini perlu dijaga di tengah-tengah trend pemberhentian hubungan kerja (PHK) yang terjadi akhir-akhir ini.

Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja, korban PHK industri manufaktur telah mencapai 46 ribu pekerja sepanjang tahun 2024. Industri tekstil, garmen dan alas kaki menjadi sektor terbesar penyumbang PHK akibat anjloknya permintaan konsumen dalam tiga tahun terakhir.

(Kunthi Fahmar Sandy)

Halaman : 1 2 3 4
Advertisement
Advertisement