"TikTok adalah aplikasi mata-mata Komunis Chinayang membuat anak-anak kita kecanduan, mengumpulkan data mereka, menargetkan mereka dengan konten yang berbahaya dan manipulatif, serta menyebarkan propaganda komunis," kata Cotton.
Adapun CEO TikTok Shou Zi Chew diperkirakan menghadiri pelantikan Trump dan diberi tempat duduk utama di podium bersama dengan miliarder teknologi Elon Musk, yang merupakan CEO SpaceX, CEO Meta Mark Zuckerberg, CEO OpenAI Sam Altman, dan pendiri Amazon Jeff Bezos. Hal itu berdasarkan pernyataan dua orang yang mengetahui masalah tersebut dan berbicara dengan syarat anonym.
Di sisi lain, Mahkamah Agung pada pekan lalu mendengarkan argumen lisan dalam gugatan hukum terhadap undang-undang yang diajukan oleh TikTok, perusahaan induknya yang berbasis di China, ByteDance, dan pengguna aplikasi tersebut. Para Hakim tampaknya akan menegakkan hukum, yang mengharuskan ByteDance untuk mendivestasikan TikTok atas dasar keamanan nasional atau menghadapi larangan di salah satu pasar terbesarnya.
“Jika Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yang mendukung undang-undang tersebut, sikap Presiden Trump telah sangat jelas. Pertama, TikTok adalah platform hebat yang digunakan banyak orang Amerika dan telah hebat untuk kampanyenya dan menyampaikan pesannya. Namun kedua, ia akan melindungi data mereka,” kata Waltz pada Rabu.
“Ia adalah pembuat kesepakatan. Saya tidak ingin mendahului perintah eksekutif kami, tetapi kami akan menciptakan ruang ini untuk melaksanakan kesepakatan itu,” tambahnya.
Secara terpisah pada hari yang sama, Pam Bondi, yang merupakan jaksa agung pilihan Trump menghindari pertanyaan selama sidang Senat tentang apakah ia akan menegakkan larangan TikTok.
Trump telah membalikkan posisinya pada aplikasi populer tersebut, setelah mencoba melarangnya selama masa jabatan pertamanya karena masalah keamanan nasional. Ia bergabung dengan TikTok selama kampanye presiden 2024 dan timnya menggunakannya untuk terhubung dengan pemilih yang lebih muda, terutama pemilih laki-laki, dengan mendorong konten yang sering kali bersifat maskulin dan bertujuan untuk menjadi viral.
Ia berjanji untuk “menyelamatkan TikTok” selama kampanye dan memuji platform tersebut karena telah membantunya memenangkan lebih banyak suara dari kaum muda.
(Febrina Ratna Iskana)