Ini Alasan Wamen ATR/BPN Desak Masyarakat Bikin Sertifikat Tanah Elektronik
Wamen ATR/BPN Ossy Dermawan mengatakan, buku-buku sertifikat tanah yang saat ini dimiliki masyarakat sangat mudah diduplikasi.
IDXChannel - Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Ossy Dermawan mengatakan, buku-buku sertifikat tanah yang saat ini dimiliki masyarakat sangat mudah diduplikasi.
Maka dari itu, Ossy meminta seluruh masyarakat untuk mendaftarkan sertifikat tanahnya menjadi sertifikat elektronik. Tujuannya agar tercatat resmi oleh Kementerian ATR/BPN jika sewaktu-waktu muncul sengketa di atas tanah masyarakat.
"Memang urgensi sertifikat elektronik ini adalah menghindari sengketa ke depan. Karena buku-buku sertifikat saat ini sangat mudah diduplikasi," ujarnya dalam Rapat bersama Baleg DPR RI, Jakarta, Senin (28/4/2025).
Di samping itu, kata dia, kehadiran sertifikat elektronik ini juga akan memudahkan para pemiliknya untuk mencetak ulang jika bukti fisik yang dipegang rusak, atau hilang akibat bencana alam.
"Pada saat masyarakat hanya memiliki buku manual (sertifikat fisik), pada saat terjadi bencana, seperti banjir, atau terbakar, kemudian kalau mau mencetak lagi akan kesulitan," kata Ossy.
Kehadiran sertifikat elektronik ini juga dianggap mampu meminimalisasi terjadinya konflik atau sengketa pertanahan. Sebab, dokumen resmi pertanahan bisa dibuktikan dengan kepemilikan elektronik, meski secara fisik ada pihak yang mengklaim.
Sebelumnya, Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid menyebut saat ini masih banyak sertifikat tanah di Jakarta yang tumpang tindih kepemilikan dengan orang lain. Hal berpotensi terjadi sengketa lahan bagi para pemegang sertifikat.
Bahkan, Nusron Wahid menyebut rerata 1 bidang tanah di Jakarta punya 3 sertifikat yang tumpang tindih dengan atas nama yang berbeda. Hal ini disebabkan kurangnya teknologi pada zaman dahulu terkait proses pengukuran dan penerbitan sertifikat.
Tanah-tanah yang tumpang tindih tersebut biasanya terjadi pada sertifikat tanah yang dikeluarkan pada tahun 1961-1997 alias sertifikat KW 456. Masyarakat diimbau untuk mendaftarkan ulang jika masih mengantongi sertifikat di bawah tahun 1997 agar tidak terjadi sengketa lahan di kemudian hari.
Di sisi lain, sertifikat yang dikeluarkan di bawah tahun 1997 belum punya metode pengukuran tanah yang akurat terkait batas-batas tanah yang dibeli masyarakat pada saat itu. Sehingga, ketika penduduk asli Jakarta ini pindah, banyak yang tidak mengetahui riwayat kepemilikan tanah tersebut karena batas-batasnya hanya mengandalkan ingatan atau patokan.
"Di Jakarta Timur ada kecamatan, dulu itu desa, tahun 1980 masih masuk Bekasi, termasuk itu Ciledug masih masuk Tangerang. Itu numpuk begitu, jadi tumpang tindih Jakarta biasanya di sertifikat KW 456, ada yang 1 (sertifikat) tumpuk 4, tapi minimal 1 tumpuk 3 di Jakarta," kata Nusron, beberapa waktu lalu.
(Dhera Arizona)