JHT Dianggap Jadi Tumpuan Korban PHK, Aturan Baru Permenaker Dinilai Tabrak Pemulihan Ekonomi
Penolakan terhadap Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) terus bermunculan.
IDXChannel - Penolakan terhadap Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) terus bermunculan.
Diketahui, Permenaker tersebut membuat aturan bahwa dana JHT hanya bisa dicairkan saat usia pekerja mencapai 56 tahun. Padahal, dana JHT merupakan uang pekerja yang menjadi harapan utama bagi para pekerja buruh maupun perkantoran ketika sudah tidak bekerja lagi atau terkena PHK.
"Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 harus dicabut karena di masa pandemi COVID-19 ini, tunjangan JHT yang telah dikumpulkan BPJS menjadi sandaran utama bagi para pekerja, baik buruh pabrik ataupun perkantoran," tegas Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani dalam keterangan resminya, Selasa (15/2/2022).
Selama pandemi COVID-19, lanjut Muzani, jutaan orang kehilangan pekerjaan, bahkan kesulitan mencari pekerjaan kembali. Umumnya, dana JHT menjadi tumpuan para korban PHK untuk mencoba dunia usaha kecil, seperti UMKM.
"Saat pandemi, aktivitas dan produktivitas pabrik maupun perkantoran berkurang yang menyebabkan pendapatan perusahaan menurun. PHK menjadi pilihan terakhir para pengusaha. Ketika akan mencari pekerjaan kembali, sudah ada angkatan kerja baru dengan semangat lebih fresh dan upah minim," ujarnya.
Ketua Fraksi Gerindra DPR RI ini menuturkan, dana JHT menjadi penting untuk dicairkan dan digunakan untuk bertahan hidup tanpa pekerjaan. Karena itu, Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tidak sejalan dengan semangat pemulihan ekonomi nasional di masa pandemi.
"Seharusnya pemerintah mengeluarkan kebijakan bagi para korban PHK di masa pandemi, misalnya pelatihan keterampilan berusaha bagi mereka yang berminat menjajaki dunia UMKM. Kebijakan pencairan dana JHT sebesar 30 persen dari peserta BPJS yang sudah menggunakannya selama 10 tahun bukan solusi tepat," tandasnya.
Terpisah, Sekretaris DPD Partai Gerindra Jabar, Abdul Haris Bobihoe menyatakan, aturan tersebut sangat merugikan pekerja.
"Kami menilai bahwa peraturan itu mencekik buruh. Untuk mendapatkan JHT saja sampai dipersulit begini. Kami minta peraturan itu dicabut," tegasnya.
Haris mengatakan, peraturan ini akan sulit diterapkan karena masih banyak pekerja yang berstatus kerja kontrak atau outsourcing. Apalagi, dengan Undang Undang Cipta Kerja yang selama ini dinilai lebih menyemarakkan status pekerja kontrak di dalam negeri.
Sebelumnya, kata Haris, dalam peraturan lama JHT bisa diambil setelah buruh tidak lagi bekerja. Sedangkan dengan aturan yang baru, buruh baru bisa mengambil JHT-nya setelah berusia 56 tahun. Namun, hal ini bertolak belakang dengan keadaan yang ada, yakni banyaknya pekerja kontrak, termasuk di Jabar.
"Saat ini sepertinya sistem hubungan kerja cenderung fleksibel. Mudah rekrut sekaligus mudah pecat dengan sistem kerja kontrak. Akan sangat sulit bagi buruh bisa bekerja hingga usia 56 tahun," katanya.
Di masa pandemi dan situasi ekonomi yang belum membaik, lanjut Harus, penerbitan Permenaker ini malah memperumit permasalahan dalam negeri dan lebih membebani para pekerja. Padahal, selama ini, tidak ada permasalahan apa pun terkait peraturan yang lama yang berkenaan dengan pengambilan JHT yang bisa dilakukan satu bulan setelah buruh tidak lagi bekerja.
“Apa urgensinya muncul peraturan baru ini. Istilahnya tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba aturan lama diubah. Ini kan yang jadi menimbulkan pertanyaan di tengah publik. Ada apa ini di Kemenaker," katanya.
Ketua Komisi V DPRD Jabar ini menambahkan, Jabar sendiri menjadi provinsi dengan sektor industri dan manufaktur terbesar di Indonesia. Aturan tersebut tentu akan sangat berdampak bagi para pekerja di Jabar.
"Kami mendapat aspirasi dari serikat pekerja yang menyatakan bahwa kini pekerja kian menderita dengan peraturan tersebut. Sejumlah serikat pekerja bahkan berencana membuat aksi unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasinya menolak peraturan ini," tandas Haris.
(NDA)