Prospek Obligasi di Semester II-2023, Mengantisipasi Risiko yang Mungkin Terjadi
Pasar obligasi pada semester I-2023 diperkirakan membaik, meski masih terbatas di tengah ketidakpastikan ekonomi global.
IDXChannel - Pasar obligasi pada semester I-2023 diperkirakan membaik, meski masih terbatas di tengah ketidakpastikan ekonomi global. Hal tersebut didukung oleh kondisi makro domestik.
“Pasar obligasi di semester dua ini berpeluang berlanjut dalam fase pemulihan atau menguat, namun terbatas,” kata Kepala Departemen Riset dan Informasi Pasar PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) Roby Rushandie.
Pertumbuhan pasar obligasi di paruh kedua tahun ini akan didorong oleh terjaganya kondisi makro di dalam negeri. Selain itu, ekspektasi puncak siklus kenaikan suku bunga global dan domestik.
Tingkat suku bunga menjadi faktor utama yang mempengaruhi harga obligasi. Semakin tinggi tingkat suku bunga, maka semakin rendah harga obligasi. Sebaliknya, saat suku bunga turun, harga obligasi cenderung naik.
Roby mengatakan bahwa di pasar obligasi, jika suku bunga naik maka akan berdampak pada obligasi dengan tenor pendek.
Sebaliknya, jika suku bunga turun, maka obligasi dengan tenor panjang akan banyak diburu lantaran saat nanti suku bunga turun, kenaikan harga obligasi tenor panjang bakal lebih tinggi dibanding tenor lainnya.
Mengenai sensitivitas imbal hasil (yield) terhadap suku bunga, menurutnya, obligasi bertenor panjang akan mengalami kenaikan seiring naiknya suku bunga. Sementara jika suku bunga turun, maka obligasi tenor panjang bakal terkoreksi lebih dalam.
“Jadi ada antisipasi investor akan suku bunga yang lebih rendah di tahun ini,” ujarnya.
Dia memperkirakan, pasar obligasi hingga pengujung tahun ini akan mengalami tren bullish. Adapun, institusi nonbank dan lembaga perbankan akan menjadi pendorong penerbitan obligasi di dalam negeri.
Roby menuturkan, lembaga perbankan akan lebih banyak menerbitkan surat utang. Itu karena likuiditas bank lebih rendah, sehingga membutuhkan lebih banyak pendanaan.
Dari sisi sektoral, dia mengatakan bahwa sektor infrastruktur tidak akan terlalu banyak menerbitkan surat utang.
“Kalau infrastruktur lebih terbatas karena terlihat sudah front loading,” ujarnya.
Sektor energi juga tidak akan banyak menerbitkan obligasi karena dinilai sudah banyak mendapat surplus berkat lonjakan harga komoditas pada tahun lalu. Sektor ini diperkirakan bakal menahan ekspansinya karena harga yang cenderung melandai sepanjang 2023.
Sementara Head of Research Team & Strategist Mirae Asset Robertus Hardy mengatakan bahwa penerbitan obligasi di paruh kedua 2023 berpotensi lebih rendah dibanding semester I-2023. Ini akibat tingkat inflasi yang mulai melandai dan terbukanya potensi penurunan tingkat suku bunga.
“Dengan itu harapannya yield obligasi bisa turun. Jadi banyak perusahaan yang saat ini menunda penerbitan obligasi karena menunggu kepastian yield yang lebih rendah,” tuturnya kepada IDXChannel.
Dia menilai, penundaan penerbitan obligasi oleh korporasi merupakan bagian dari strategi pengelolaan keuangan masing-masing perusahaan. Pasalnya, perusahaan menunggu tingkat suku bunga acuan untuk turun supaya mendapatkan yield lebih rendah.
“Kalau misalnya tahun depan bisa dapat yield yang lebih rendah, secara alami pasti tahun ini akan sedikit menunda (menerbitkan obligasi),” ucap Robertus.
Begitu juga dengan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang diperkirakan juga akan lebih rendah. Akibatnya, akan menimbulkan keterbatasan suplai dan kelangkaan produk obligasi, yang mendorong harga semakin tinggi.
“Jadi kalau untuk investor ritel, lebih baik beli reksa dana obligasi saja di marketplace reksa dana,” ujar Robertus.
Risiko Obligasi
Sama halnya dengan investasi pada instrumen lainnya, obligasi juga memiliki risiko. Mengutip laman OJK, berikut risiko obligasi paling umum:
1. Risiko Gagal Bayar
Karena obligasi merupakan janji untuk membayar, maka risiko paling besar adalah si penerbit tidak dapat memenuhi kewajibannya.
2. Risiko Likuiditas
Karena obligasi dapat diperjualbelikan antara satu investor dengan investor lain, maka ada kemungkinan ketika seorang investor ingin menjual suatu obligasi, tidak ada yang bersedia membeli atau bersedia, namun di harga yang sangat
rendah. Risiko ini disebut risiko likuiditas.
3. Risiko Perubahan Inflasi dan Suku Bunga
Harga obligasi ditentukan oleh perubahan inflasi dan suku bunga. Jika inflasi dan suku bunga naik, maka harga obligasi
akan turun dan sebaliknya jika inflasi dan suku bunga naik, harga obligasi akan naik.
Bagi investor yang ingin berinvestasi di obligasi dengan tujuan diperdagangkan, maka inflasi dan suku bunga merupakan faktor penting yang harus diperhatikan.
Namun ketiga risiko ini umumnya terjadi pada obligasi korporasi lantaran kemungkinannya kecil bagi negara mengalami kebangkrutan.
Adapun untuk mengantisipasi atau mengurangi risiko yang mungkin terjadi saat berinvestasi obligasi pada semester II tahun ini, ada beberapa hal yang bisa dilakukan.
Mengutip beberapa sumber, di antaranya cek lebih dahulu institusi yang menerbitkan obligasi, laporan keuangan perusahaan dan prospeknya, frekuensi likuiditas transaksi obligasi dalam periode tertentu, serta peringkat dari lembaga rating.
Peringkat ini mencerminkan risiko kegagalan dalam membayar bunga atau pokok. Peringkat AAA memiliki risiko paling rendah, disusul AA, A, BBB, dan seterusnya sampai D yang menandakan bahwa obligasi tersebut gagal bayar.
Di samping itu, Anda juga bisa melakukan strategi buy and hold saat memutuskan memilih obligasi sebagai instrumen investasi. Anda bisa membeli saat harga obligasi turun dan menahannya, lalu jual ketika harganya kembali normal.
Anda pun bisa memilih obligasi dengan jatuh tempo lebih lama karena suku bunganya lebih tinggi. Selain itu, lakukan diversifikasi investasi supaya saat nilai obligasi turun, kerugiannya bisa ditutup instrumen lain.
Anda juga sebaiknya menggunakan 'uang dingin' atau dana menganggur ketika melakukan investasi apapun, termasuk obligasi. Jika mengalami kerugian, tidak akan mengganggu keuangan atau kebutuhan penting lainnya.
(RNA)