Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, sambung dia, kebutuhan dan transaksi bisnis pun bertambah. Ini membuat kebutuhan akan uang tunai bakal naik. Pasalnya, masih banyak pedagang kecil atau UKM yang belum siap dengan sistem digital.
"Memang Bank Indonesia (BI) telah menyediakan infrastruktur cashless lewat QRIS. Namun, dibutuhkan waktu untuk mengimplementasikan infrastruktur untuk para pedagang cilik," ungkapnya.
Maka dari itu, menurut Jahja, masih banyak tantangan yang menghadang fully digital bank di Indonesia. Tantangan lainnya adalah ongkos penarikan uang tunai. Karena fully digital bank tidak memiliki kantor cabang, maka harus disiapkan infrastruktur ATM.
"Tidak masalah kalau perusahaan bisa menyediakan ATM sendiri sehingga tidak ditarik biaya transaksi. Tapi kalau pakai infrastruktur bersama dan biaya per penarikan Rp6.500, nasabah bisa boncos, kalau saldo Rp400 ribu, 5-6 kali transaksi waduh bonyok itu. Ini hal kecil tapi tolong dipikirkan kalau mau mengembangkan bank digital," pungkasnya. (TYO)