"Yang jadi concern adalah dari nilai tukar rupiah, karena kalau kita lihat sebenarnya katalis pertumbuhan di kuartal pertama ini relatif cukup baik karena ada kenaikan UMR, kemudian THR yang diharapkan mendorong daya beli," ujarnya.
Lebih jauh Hosianna menyebut, berdasarkan catatan historis, pada periode pemerintahan Trump 2016-2019, rupiah mengalami pelemahan sebesar 6-8 persen. Saat ini, nilai tukar rupiah masih menunjukkan kinerja yang kurang baik dibandingkan mata uang Asia lainnya.
"Nah jadi ini kalau kita lihat, BI sebagai bank sentral perlu memberikan keyakinan imbal hasil yang menarik bagi investor gitu. Jadi terhadap potensi dari pelemahan rupiah ini, karena per hari ini, nilai tukar kita masih merupakan yang performanya ini terburuk di kawasan Asia," tuturnya.
Dengan mempertahankan suku bunga, Hossiana mengatakan, BI dapat menyeimbangkan antara stabilitas nilai tukar dan pertumbuhan ekonomi, khususnya di tengah momentum Ramadan yang turut menopang aktivitas ekonomi domestik.
(Fiki Ariyanti)