"Kalau kita lihat dalam pelaksanaannya ke depan, bank tradisional ini tetap ada, karena perusahaan yang pinjam uang di atas Rp5 miliar mana berani bank meminjamkan Rp5 miliar hanya lewat digital. Sangat riskan buat bank. Jadi nanti bank-bank yang tradisional ini akan menangani korporasi yang besar," kata dia.
Walau begitu, Aviliani memprediksi akan terjadi perbedaan fungsi antara dua bank tersebut. Dimana pada bank konvensional lebih banyak digunakan untuk transaksi dalam jumlah besar yang mengharuskan nasabah datang langsung di kantor cabang. Sementara, bank digital hanya digunakan untuk sistem pembayaran dalam nominal lebih kecil.
Makanya, kalau kita lihat perkembangannya, bank selalu punya dua, digital dan konvensional, karena dia ingin tangani sumber dananya itu berasal dari bank yang konvensional, sedangkan bank digital lebih banyak untuk payment system. Payment system orang lebih suka pakai digital karena dengan uang misalnya 1 juta habis, dia bisa top up lagi dari bank konvensional ," tuturnya.
Oleh karena itu, ia memprediksi tren neobank di Indonesia akan berbeda dengan sejumlah negara. Pada sejumlah negara, neobank sepenuhnya berlaku digital tanpa kantor cabang.
"Kalau di kita, masih membuat bank tradisional menjadi neobank, tapi masih tetap punya kantor cabang. Kalau neobank benar-benar tidak punya cabang," katanya.