"(Kebutuhan dana) Per pelatihan bisa sekitar Rp2,5 juta sampai Rp5 juta per pelatihan, tergantung jumlah pesertanya. Makin banyak peserta, tentu butuh dana lebih besar untuk pengadaan bahan kainnya, pewarnanya, lilin dan cantingnya, serta kebutuhan lain-lain. Dan itu semua selalu saya bikin free. Kecuali kalau penyelenggaranya bersifat komersil dan peserta disuruh bayar, maka saya juga (pungut bayaran)," jelas Eka.
Ciwitan
Saat pertama menggelar pelatihan, menurut Eka, dirinya mengajarkan tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memproduksi sebuah kain batik tulis.
Tahapan-tahapan tersebut, mulai dari membuat sketsa, menorehkan lilin menggunakan canting, mewarnai, proses pengeringan hingga tahapan akhir dengan merendam kain untuk meluruhkan lapisan lilin, sekaligus untuk menjaga warna agar menempel permanen dan tidak luntur.
"Cuma ada kendala, bahwa ternyata bikin batik tulis itu tidak segampang yang dibayangkan. Ibu-ibu ini kesusahan, karena untuk menggambar aja mereka tidak bisa, apalagi harus membaik pakai canting," urai Eka.
Atas kendala tersebut, Eka pun kembali memutar otak dan mencari cara agar sebisa mungkin proses membatik dirasa cukup mudah dan bisa dilakukan oleh semua orang.
Atas pertimbangan itu, Eka pun mulai melirik metode batik ikat, yang sebenarnya juga telah banyak digunakan di berbagai wilayah di Indonesia.