IDXChannel - Periode kisaran dua-tiga tahun ke belakang boleh dianggap sebagai puncak musim (peak season) tumbuh-kembangnya industri perbankan digital di Indonesia.
Tak hanya para pemain baru yang terus bermunculan bak cendawan di musim hujan, para pemain utama di ceruk pasar bank-bank konvensional juga tak ketinggalan juga turut ambil kesempatan.
Sebut saja PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) lewat Livin, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) melalui Blu atau PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dengan Wondr dan juga Hibank. Tak ketinggalan, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) juga memiliki Bank Raya, selain layanan aplikasi digital BRImo yang juga tak kalah ekspansif.
Dengan para pelaku yang begitu banyak, pantas bila kemudian faktor likuiditas menjadi isu yang sangat kencang di kalangan bank digital. Demi bisa bertahan di tengah ketatnya persaingan, kepemilikan likuiditas yang cukup menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh bank-bank digital.
Karenanya, guna menarik minat masyarakat agar sudi menempatkan dana, bank-bank digital tak ragu untuk jor-joran dalam memberikan tawaran bunga tinggi untuk setiap produk yang ditawarkan, mulai dari tabungan hingga deposito dengan beragam pilihan tenor.
Bahkan, tak hanya di 2024, peta persaingan industri tersebut diperkirakan masih akan bertahan hingga 2025 mendatang, seiring dengan kondisi perekonomian nasional yang juga masih menantang.
"(Strategi bunga tinggi) Saya rasa masih akan menjadi upaya kami dalam mengejar pertumbuhan kinerja di 2025, selain tentu diperkuat dengan benefit-benefit menarik lain," ujar Direktur Utama PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI), Indra Utoyo, dalam keterangan resminya, Jumat (20/12/2024).
Menurut Indra, strategi penetapan bunga tinggi merupakan langkah yang paling realistis dan solutif bagi perbankan, terutama bank digital, guna mempertebal likuiditas lewat perolehan Dana Pihak Ketiga (DPK), yang kemudian bakal dimanfaatkan untuk ekspansi kredit.
Pasalnya, tak hanya harus bersaing dengan sesama perbankan dalam meraup likuiditas, bank digital juga harus menghadapi fakta bahwa Bank Indonesia (BI) juga menerbitkan instrumen investasi Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), yang diyakini juga turut menyerap likuiditas dalam skala cukup besar.