IDXChannel - Bank asal Amerika Serikat (AS), yang berfokus mendanai banyak startup, Silicon Valley Bank (SVB) dilaporkan mengalami kebangkrutan pada Jumat lalu (10/3). SVB menjadi bank terbesar yang gagal sejak krisis keuangan 2008.
SVB mengalami keruntuhan tiba-tiba yang mengguncang pasar global, menyebabkan miliaran dolar uang milik perusahaan dan investor terdampak.
Regulator perbankan California akhirnya menutup bank tersebut dan menunjuk Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) sebagai penerima untuk disposisi asset SVB.
Bank yang berbasis di Santa Clara, Sillicon Valley ini menduduki peringkat ke-16 bank terbesar di AS pada akhir tahun lalu, dengan aset sekitar USD209 miliar.
Penyebab bankrutnya SVB disinyalir karena kenaikan suku bunga Fed yang agresif pada tahun lalu, dan banyak merusak kondisi keuangan di industri start-up di AS, bahkan secara global.
SVB sempat kehilangan uang sebesar USD1,8 miliar pada obligasi Treasury yang nilainya terdampak oleh kenaikan suku bunga The Fed.
Krisis finansial 2008 telah memicu krisis keuangan yang melumpuhkan perekonomian selama bertahun-tahun.
Sejak saat itu, regulator telah memberlakukan persyaratan modal yang lebih ketat untuk bank-bank AS yang bertujuan untuk memastikan keruntuhan bank individu tidak akan merugikan sistem keuangan dan ekonomi yang lebih luas.
Sikap Pemerintahan Biden dan Nasib Nasabah SVB
Menteri Keuangan AS Janet Yellen menegaskan pada Minggu (12/3) bahwa pemerintahannya tidak akan memberikan bailout bagi SVB setelah bank itu tiba-tiba ditutup. Yellen juga mengatakan regulator keuangan tengah berada di kondisi "khawatir" tentang dampaknya terhadap deposan yang disimpankan bank tersebut.
"Selama krisis keuangan (2008), ada investor dan bank besar yang harus ditebus. Reformasi yang telah diberlakukan berarti kami tidak akan melakukannya lagi. Tapi kami prihatin dengan para deposan dan fokus untuk mencoba memenuhi kebutuhan mereka," kata Yellen pada Minggu (12/3). "
Sikap Yellen berbanding terbalik dengan sikap mantan Menteri Keuangan AS, Henry Paulson saat krisis finansial 2008.
Pemerintah AS memiliki sejarah panjang dalam bailout ekonomi di mana intervensi besar pertama terjadi selama Kepanikan 1792. Saat itu, Menteri Keuangan Alexander Hamilton mengesahkan pembelian sejumlah asset bank dan perusahaan untuk mencegah runtuhnya pasar sekuritas AS.
Krisis keuangan kembali terjadi pada 2008 yang disebabkan gagalnya institusi keuangan mengatasi gagal bayar kredit perumahan atau yang dikenal dengan subprime mortgage crisis.
Saat itu, pemerintah AS mengeluarkan Emergency Economic Stabilization Act of 2008 atau Undang-Undang (UU) Stabilisasi Ekonomi Darurat tahun 2008 dan sering disebut "dana talangan bank tahun 2008. UU ini diusulkan oleh Menteri Keuangan Henry Paulson, disahkan oleh Kongres Amerika Serikat ke-110, dan ditandatangani menjadi undang-undang oleh Presiden George W. Bush.
Di tengah krisis keuangan, otoritas menciptakan Troubled Asset Relief Program (TARP) senilai USD700 miliar untuk membeli aset bermasalah milik bank. Dana tersebut sebagian besar dialihkan untuk menyuntikkan modal ke bank dan lembaga keuangan lainnya. TARP berupaya membeli aset dan saham perusahaan bermasalah.
Departemen Keuangan juga diberi wewenang untuk membeli hingga USD250 miliar saham bank, yang akan menyediakan modal yang sangat dibutuhkan lembaga keuangan.
Saat itu, pemerintah AS membeli masing-masing USD20 miliar saham dari Bank of America (BAC) dan Citigroup (C). Departemen Keuangan kemudian menjual kembali saham tersebut untuk mendapatkan keuntungan. Secara total, pemerintah menyediakan USD245,1 miliar bantuan TARP kepada bank dan memperoleh kembali keuntungan sebesar USD30,5 miliar menjadi USD275,6 miliar.
Krisis keuangan 2007-2008 menyebabkan banyak kegagalan bank di AS. Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) menutup 465 bank yang kolaps dari tahun 2008 hingga 2012. Sebelumnya, dalam lima tahun sebelum kejadian 2008, hanya 10 bank yang bangkrut.
Sementara dalam kasus SVB, berdasarkan keterangan FDIC, SVB juga menegaskan semua deposan yang diasuransikan akan dapat akses penuh oleh nasabah paling lambat Senin pagi. Namun, menurut FDIC, sebanyak 89% dari simpanan bank senilai USD175 miliar tidak diasuransikan pada akhir 2022, dan nasib nasabah masih harus ditentukan dalam hal ini.
FDIC sedang berlomba untuk menemukan bank lain yang bersedia mengakuisisi SVB. Kabarnya, taipan AS pemilik Tesla sekaligus Twitter, Elon Musk, terbuka untuk mengakuisisi SVB.
Namun, berdasarkan data dari FDIC, Deposit Insurance National Bank of Santa Clara menjadi institusi resmi yang mengakuisisi SVB.. (Lihat grafik di bawah ini.)
Sementara FDIC berharap untuk melakukan merger pada Senin (13/3) untuk melindungi aset simpanan tanpa jaminan dan asset yang tidak memiliki kesepakatan yang pasti.
Setelah SVB, FDIC juga mengumumkan kebangkrutan Signature Bank yang berbasis di New York pada Minggu (12/3/2023). Langkah tersebut diambil hanya dua hari setelah pihak berwenang menutup Silicon Valley Bank (SVB).
Signature Bank melaporkan saldo deposito sebesar USD89,17 miliar per 8 Maret. Per 31 Desember, Bank memiliki aset sekitar USD110,36 miliar.
Ini menjadi sinyal serius bagi The Fed untuk seluruh kebijakan hawkish-nya yang selama ini telah dilakukan. Atif Mian, pengajar kebijakan publik dan keuangan di Princeton School, mengatakan bank yang berbasis di California itu kolaps karena terpapar risiko suku bunga.
"Dimensi penilaian risiko suku bunga inilah yang membunuh SVB - tapi ingat total utang terhadap PDB sudah mencapai 250%, akan lebih banyak lagi yang terpukul," tambah ekonom itu, dikutip Business Today, Senin (13/3). (ADF)