Peningkatan ini terutama didorong oleh lebih banyak investasi dalam efisiensi energi di gedung-gedung, investasi dalam kendaraan listrik dan langkah-langkah untuk beradaptasi dengan perubahan iklim, seperti membangun pertahanan baru terhadap banjir.
Pembiayaan iklim dari negara maju ke negara berkembang juga diklaim meningkat antara 6% dan 17% pada 2019-2020, baik secara langsung dari negara maju ke negara berkembang, atau melalui dana iklim dan bank pembangunan multilateral.
Pertanyaannya, masihkah negara-negara kaya akan konsisten dengan agenda ini?
Tahun depan diramalkan akan sulit. Dimulai dari negara-negara maju yang hanya akan menikmati pertumbuhan ekonomi di bawah 3%, menurut ramalan beberapa lembaga.
Inflasi masih akan menghantui negara-negara maju dan akan berdampak bagi negara berkembang termasuk Indonesia.
Sementara, di Indonesia Saat ini, sebagian besar pembiayaan untuk tindakan mitigasi perubahan iklim tetap ditanggung negara anggaran (APBN) yang jauh dari mencukupi.
The New York Times (6/11) juga melaporkan fakta yang kontradiktif. Saat ini, negara-negara miskin yang menghadapi bahaya iklim menginginkan Amerika Serikat (AS) dan negara-negara industri lainnya untuk memberikan kompensasi kepada mereka atas kerusakan alam yang disebabkan oleh gas rumah kaca yang mereka hasilkan selama bertahun-tahun ini.
Di Pakistan, banjir musim panas tahun ini menewaskan 1.700 orang dan membuat sepertiga negara itu terendam air.
“33 juta orang Pakistan saat ini harus membayar dampak dari industrialisasi negara-negara besar. Apa yang kami cari bukanlah amal, bukan sedekah, bukan bantuan, tetapi keadilan,” kata menteri luar negeri Pakistan, Bilawal Bhutto Zardari, mengutip New York Times, (6/11).
Di Fiji, seluruh desa mundur ke pedalaman untuk menghindari naiknya air laut. Di Kenya, kekeringan yang berkepanjangan telah membunuh ternak dan menghancurkan mata pencaharian.
Mereka termasuk di antara sejumlah negara berkembang yang menghadapi kerusakan permanen akibat perubahan iklim tetapi tidak bisa berbuat banyak untuk mengatasi krisis ini.
Negara berkembang ini juga menuntut kompensasi dari pihak-pihak yang mereka anggap bertanggung jawab. Di antaranya adalah negara-negara kaya yang telah membakar minyak, gas, dan batu bara selama beberapa dekade ini dan menciptakan polusi yang merusak untuk kepentingan ekonomi mereka sendiri.
Tahun lalu, negara-negara kaya berjanji untuk menyediakan USD40 miliar per tahun hingga 2025 untuk membantu negara-negara miskin dengan langkah-langkah adaptasi iklim seperti membangun pertahanan banjir.
Tetapi sebuah laporan PBB memperkirakan jumlah ini kurang dari seperlima dari yang dibutuhkan negara-negara berkembang.
Sebuah studi juga memperkirakan bahwa negara-negara berkembang dapat menderita kerugian sebesar USD290 miliar hingga USD580 miliar per tahun hingga 2030. Angka ini bisa meningkat menjadi USD1,7 triliun pada 2050.
Kegagalan perundingan iklim ini perlu menjadi sorotan bersama di tengah bencana alam yang kian massif terjadi dan menimbulkan kerugian secara materil maupun non-materil. (ADF)