IDXChannel – OPEC mengejutkan pasar minyak dengan keputusannya menurunkan produksi sebesar 1,2 juta barel per hari. Hal tersebut dipandang sebagai tanda bullish.
"Secara seimbang, kami mencatat bahwa ekuitas energi umumnya berjuang untuk mengungguli pasar yang lebih luas dan paling baik perdagangan datar dalam konteks pemotongan OPEC yang bertujuan untuk mengelola pasokan dalam menghadapi fundamental ekonomi yang memburuk," tulis Analis JP Morgan, Christyan Malek, dalam sebuah laporan dikutip Selasa (18/4/2023).
International Energy Agency (IEA), mengatakan bahwa pemotongan produksi yang diumumkan oleh produsen OPEC+ tersebut berisiko memperburuk defisit pasokan minyak yang diperkirakan terjadi pada paruh kedua tahun ini dan dapat merugikan konsumen dan pemulihan ekonomi global.
Negara-negara konsumen yang diwakili oleh IEA berpendapat bahwa pengetatan pasokan mendorong harga dan dapat mengancam resesi, sementara OPEC menyalahkan kebijakan moneter Barat atas ketidakstabilan pasar dan inflasi yang menurunkan nilai minyaknya.
"Neraca pasar minyak telah ditetapkan untuk mengetat pada paruh kedua tahun 2023, dengan potensi munculnya defisit pasokan yang substansial," kata IEA dalam laporan minyak bulanannya.
Melansir Reuters, IEA melihat permintaan 2023 menyentuh rekor 101,9 juta barel per hari, angka tersebut naik 2 juta barel per hari pada tahun lalu.
IEA mengatakan pihaknya memperkirakan pasokan minyak global turun 400.000 bpd pada akhir tahun,
Amerika Serikat dan Brasil meraup untung di luar aliansi produsen, dilanjut dengan Norwegia dan Ekuador yang memberikan kontribusi signifikan.
Meningkatnya stok minyak global diprediksi telah memengaruhi keputusan OPEC. Sementara itu, ekspor minyak Rusia pada bulan Maret mencapai level tertinggi sejak April 2020 karena aliran produk minyak yang kuat, kata IEA.
Pendapatan Rusia di bulan Maret naik USD 1 miliar (RP 14,9 triliun) per bulan menjadi USD 12,7 miliar (RP 188,5 triliun), tetapi masih 43% lebih rendah dari tahun sebelumnya.
Penulis: Annabela Zahwa
(SLF)