IDXChannel - Isu mengenai krisis pangan menjadi topik perbincangan baru-baru ini. Beberapa waktu yang lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan, Indonesia termasuk negara yang sudah bersiap menghadapi ancaman krisis pangan.
Jokowi menyatakan dalam unggahan Instagramnya, RI sudah jauh-jauh hari melakukan sejumlah persiapan untuk menghadapi ancaman krisis pangan di tengah ancaman resesi dan ketidakpastian global.
“Jauh-jauh hari sebelumnya, jalan menuju ketahanan pangan itu sudah kita persiapkan, salah satunya dengan membangun infrastruktur di bidang pertanian, dari bendungan, embung, hingga jaringan irigasi yang mendukung produksi pertanian nasional," tulis presiden RI pada Minggu, (16/10/2022).
Sebelumnya, pada 14 Agustus lalu, Indonesia menerima penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) karena dinilai memiliki ketahanan pangan yang baik dan berhasil dalam swasembada beras pada periode 2019-2021.
Mengutip website RRI, sepanjang 2019 hingga 2021, Indonesia mencapai rasio swasembada 90% dalam produksi beras dan rasio permintaan.
Berdasarkan ketetapan Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 1999, suatu negara dikatakan swasembada jika produksinya mencapai 90% dari kebutuhan nasional.
Adapun beras menjadi makanan pokok di Indonesia dengan rata-rata konsumsi beras per kapita 108 kilogram setiap tahun.
Namun, akankah RI tetap kebal dari ancaman krisis pangan di masa depan, mengingat tantangan ekonomi makro yang berkembang saat ini?
Ancaman Trade Shock Terhadap Ketahanan Pangan
Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), kerentanan panganan atau food volatility secara global telah meningkat sejak 2018. IMF memperingatkan ancaman krisis pangan akan menjadi masalah banyak negara di masa depan.
IMF memperkirakan sebanyak 345 juta orang saat ini terpapar dengan kondisi kerawanan pangan akut. menurut World Food Programme, secara global lebih dari 828 juta orang tidur dalam keadaan lapar setiap malam.
Kondisi kerentanan pangan global ini diperparah dengan meletusnya perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan rantai pasok global terganggu.
IMF juga menyebut bahwa kerentanan pangan sudah diprediksi sejak sebelum invasi Rusia ke Ukraina. Beberapa faktor yang melatarbelakanginya di antaranya meningkatnya frekuensi dan keparahan guncangan iklim, konflik regional, dan pandemi Covid-19 telah cukup mendisrupsi produksi bahan pangan.
Tak hanya soal produksi dan distribusi, kerentanan pangan juga terlihat dari kenaikan harga bahan pangan yang menyebabkab biaya untuk memberi makan orang dan keluarga juga kian meningkat.
Situasi ini menurut IMF menjadi lebih dramatis dengan adanya perang di Ukraina. Perang telah mendorong harga makanan dan pupuk menjadi lebih mahal. Kondisi ini merugikan importir dan mendorong beberapa negara untuk memberlakukan pembatasan ekspor.
Kondisi ini menyebabkan dunia dalam kerentanan trade shock atau ancaman terganggungya perdagangan dan distribusi pangan.
Dampak food shock juga semakin terasa di mana-mana akibat trade shock. Sebanyak 48 negara yang sangat bergantung pada impor pangan dari Ukraina dan Rusia. Kebanyakan negara-negara ini masuk dalam kategori berpenghasilan rendah dan menderita paling parah.
Sebanyak 48 negara ini harus menambah sekitar USD9 miliar pada anggaran impor pangan dan pupuk mereka di tahun 2022 dan 2023.
Dari jumlah tersebut, sekitar setengahnya sangat rentan karena tantangan ekonomi yang berat hingga institusi negara yang lemah.
IMF dalam publikasinya juga merinci negara berpenghasilan rendah akan menanggung tambahan biaya impor pupuk untuk kebutuhan pertanian dan biji-bijian pangan sebesar USD2,93 miliar di tahun depan.
Sedangkan negara-negara berpendapatan menengah akan menanggung tambahan biaya impor kedua jenis komoditas tersebut sebesar USD1,12 miliar. (Lihat tabel di bawah ini.)
Sumber: IMF
Tingginya harga pangan dan juga energi baru-baru ini juga telah memicu krisis biaya hidup di banyak negara-negara maju. Banyak negara terpaksa menaikkan suku bunga acuan mereka yang membuat inflasi semakin tak terkendali, termasuk inflasi makanan.
Kondisi ini berpotensi meningkatkan kemiskinan dan menghambat pertumbuhan, yang berpotensi memicu ketidakstabilan politik.