Krisis Iklim Memperburuk Keadaan
Salah satu tantangan yang tak bisa secara instan diatasi manusia adalah perubahan iklim. Ancaman ini kian nyata menghantui para petani di banyak negara.
Telah banyak studi menemukan perubahan iklim mengurangi produktivitas tanaman petani.
Banyak petani secara global melaporkan bahwa cuaca yang semakin tidak terduga mengancam hasil panen.
Mengutip nature.com, perubahan iklim telah mengurangi produktivitas pertanian global sebesar 21% sejak tahun 1961. Bahkan, di daerah yang lebih hangat seperti Afrika dan Amerika Latin, produktivitas turun 26% hingga 34%.
Pada 2019, studi yang dilakukan University of Minnesota terhadap 10 tanaman global menemukan bahwa perubahan iklim mengurangi produksi bahan pokok penting seperti beras dan gandum. Kondisi ini terutama akan berdampak pada negara-negara berkembang.
Sebuah studi yang diterbitkan oleh Nature Climate Change, menemukan bahwa kondisi iklim yang lebih hangat dan lebih kering di Brasil mengubah produktivitas pertanian salah satu penghasil komoditas pangan terbesar di dunia.
Brasil Tengah memimpin dunia dalam produksi tanaman pokok utama termasuk kedelai dan jagung. Namun, berbagai sumber makanan pokok tersebut bergantung pada iklim yang stabil.
Studi yang dipimpin oleh Dr. Ludmila Rattis, Asisten Ilmuwan di Woodwell Climate, menemukan perubahan curah hujan dan suhu di sepanjang perbatasan Cerrado-Amazon Brasil, sebagai wilayah penghasil setengah dari hasil pertanian negara tersebut berdampak signifikan pada hasil panen.
Hasil penelitian Dr Rattis menunjukkan sebanyak 28% lahan pertanian tidak lagi produktif akibat perubahan iklim. Persentase tersebut bahkan diperkirakan meningkat hingga 74% pada 2060 karena wilayah tersebut akan semakin panas dan kering.
Bagaimana Nasib Indonesia?
Pemerintah selama ini juga telah menggelontorkan berbagai program untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Salah satunya melalui proyek food estate.
Mengutip website resmi setkab, pemerintah telah menyiapkan rencana antisipasi dalam RPJMN Tahun 2020-2024, termasuk Program Lumbung Pangan Nasional (Food Estate).
Program ini bertumpu pada pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan di suatu kawasan.
Program kebijakan ini masuk dalam salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024.
Teranyar, pemerintah akan mengatur terkait pengadaan, pengelolaan dan penyaluran 11 bahan pangan pokok demi mengantisipasi krisis pangan, lonjakan harga dan masalah lainnya.
Penguasaan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 tentang Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah.
Dalam APBN 2023, pemerintah juga mengalokasikan Rp95 triliun dalam mendukung ketahanan pangan nasional.
Lewat anggaran ketahanan pangan ini, pemerintah berupaya mendorong pemanfaatan teknologi dan data, serta pengembangan iklim investasi, perkuatan sistem logistik pangan nasional, dan transformasi sistem pangan yang berkelanjutan.
Menyoal ketahanan pangan, Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar produk pertaniannya adalah padi dan jagung. Namun, Indonesia tidak serta merta bisa lolos begitu saja dari ancaman krisis pangan di masa depan.
Pada 2022, produksi padi RI mencapai 55,6 juta ton di lahan seluas 10,6 juta hektar. Sementara angka ini meningkat dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 54,4 juta ton di lahan seluas 10,4 juta hektar. Pada tahun yang sama, produktivitas padi juga mencapai 52,26 kuintal per hektar (ku/ha). (Lihat grafik di bawah ini)
Adapun rata-rata produktivitas jagung secara nasional 54,74 ku/ha pada 2020. Sementara rata-rata produktivitas kedelai mencapai 15,69 ku/ha di tahun yang sama.
BPS pada awal April 2022 menyebut produksi beras Indonesia pada empat bulan pertama 2022 mencapai 25,4 juta ton gabah kering giling (GKG). Jumlah ini setara dengan 14,63 juta ton beras.