Setelah itu, ia dimasukkan ayahnya ke sekolah menengah khusus orang Eropa bernama Hoogere Burgerschool te Bandoeng dan lulus pada 1929. Kemudian, ia menempuh pendidikan tingginya di Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang Institut Teknologi Bandung) jurusan Teknik Sipil dan lulus pada 1933.
Masa mudanya diwarnai oleh keaktifannya dalam berorganisasi, seperti Paguyuban Pasundan dan anggota Muhammadiyah. Beliau juga pernah menjadi pemimpin sekolah Muhammadiyah dan bekerja sebagai pegawai Departemen Pekerjaan Umum provinsi Jawa Barat, Hindia Belanda sejak 1939.
Pada 28 September 1945, Djuanda memimpin pemuda untuk mengambil alih Jawaatan Kereta api dari Jepang, disusul dengan pengambil alihan jawatan Pertambangan , Keresidenan, Kotapraja, serta obyek militer yang ada di gudang utara Bandung.
Pemerintah Indonesia kemudian mengangkat Djuanda sebagai kepala jawaatan kereta api wilayah Jawa dan Madura. Setelah itu, beliau diangkat menjadi Menteri Perhubungan. Ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Pengairan, Menteri Kemakmuran, Menteri Keuangan dan Menteri Pertahanan.
Akibat menduduki banyak jabatan menteri semasa hidupnya, ia mendapat julukan khusus yakni Menteri Marathon. Selain itu, dia menjadi tokoh dalam perundingan dengan Belanda di antaranya dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) dan bertindak sebagai Ketua Panitia Ekonomi dan Keuangan Delegasi Indonesia.
Pada saat Agresi Militer Belanda II paska proklamasi, pada tanggal 19 Desember 1948, Djuanda sempat ditangkap oleh tentara Belanda dan dibujuk agar beliau mau bergabung dengan pemerintahan Negara Pasundan.
Pada 13 Desember 1957 saat Djuanda menjabat menjadi perdana menteri, beliau mencetuskan Deklarasi Djuanda yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau dikenal dengan negara kepulauan dalam Konvensi hukum laut United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS).