IDXChannel - Pemerintah memutuskan menurunkan kuota Domestic Market Obligation (DMO) untuk minyak goreng dari 450 ribu ton per bulan menjadi 300 ribu per bulan. Keputusan ini dinilai bakal memberikan dampak positif salah satunya peningkatan ekspor Crude Palm Oil (CPO).
Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta mengatakan, kebijakan ini perlu disambut baik. Lantaran dengan ini, akan membuka peluang untuk peningkatan ekspor.
“Relaksasi DMO yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan perlu disambut baik, karena pemerintah telah menyesuaikan dengan kondisi saat ini,” jelas Krisna Gupta dalam keterangan tertulis yang diterima MNC Portal Indonesia, Senin (1/5/2023).
Krisna menambahkan secara teori, DMO memang bisa menjaga suplai domestik untuk memastikan Indonesia sendiri tidak kekurangan minyak goreng. Namun, kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) juga tidak efektif karena menghilangkan insentif pengusaha untuk menjual minyak goreng ke pasar dan membuat harga semakin susah untuk turun ke tingkat normal.
Meski demikian, situasi harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) saat ini cenderung stabil. Minyak goreng yang umumnya dikonsumsi di Indonesia dihasilkan dari CPO.
“Harga internasional sudah lama stabil di level yang familiar, bahkan dalam dua minggu belakangan ini mulai melemah. Di samping itu, kewajiban domestik sudah terpenuhi imbas permintaan yang tinggi di bulan puasa dan Lebaran kemarin,” tambahnya.
Menurut Krisna, kebijakan DMO sendiri menimbulkan dampak pada produk turunan minyak sawit lainnya, yang tidak berhubungan dengan minyak goreng (oleochemical), karena tidak semua jenis minyak sawit bisa dipakai untuk minyak goreng. Permendag 8/2022 memperluas DMO ke 60 HS.
Kebijakan DMO juga mempersulit eksportir karena tidak semua eksportir memiliki spesialisasi untuk menyuplai pasar domestik, mereka juga belum tentu memahami rantai distribusi domestik.
Produksi CPO di Indonesia sendiri terus menurun sejak tahun 2019. Pada 2021, produksi CPO menurun sebesar 0,9 persen dari tahun sebelumnya menjadi 46,89 juta ton, berdasarkan data GAPKI.
Krisna menegaskan, akses terhadap pupuk terjangkau adalah kunci untuk memenuhi permintaan minyak sawit dunia yang diperkirakan akan terus meningkat.
"Salah satu faktor yang menyebabkan turunnya produksi adalah tingginya harga pupuk, yang membuat petani sulit mengakses pupuk yang terjangkau," ujarnya.
"Harga pupuk berbahan baku nitrogen dan fosfat yang banyak digunakan oleh petani kelapa sawit meningkat 50-80 persen pada pertengahan 2021 karena adanya gangguan pada rantai pasok, serta kenaikan biaya angkut, permintaan dan harga bahan baku," sambung Krisna.
Pupuk merupakan komponen utama dalam produksi kelapa sawit yang memakan 30-35 persen dari total biaya produksi, sehingga harga pupuk yang tinggi akan meningkatkan biaya produksi minyak sawit. Petani swadaya yang tidak mampu membeli pupuk dengan harga tinggi akan mengurangi penggunaan pupuknya dan hal ini kemudian berpotensi besar menurunkan hasil panennya.
“Oleh karena itu, pemerintah juga mulai perlu memikirkan peremajaan pohon-pohon yang mulai tidak produktif,” tandasnya. (RRD)