Angka ini mulai berusaha dinaikkan pada 2018-2019 tapi risikonya menjadi masalah pada 2020 di mana rasio kas dan setara kas terhadap utang jangka pendek langsung turun ke 2,51%.
"Kenaikan profitabilitas diasosiasikan dengan revaluasi aset tidak tepat. Pada 2017 surplus revaluasi aset tetap hanya Rp2,3 miliar. Angka ini memang naik dari sebelumnya defisit Rp4,5 miliar. Tetapi surplus dianggap tidak berkontribusi signifikan ke laba perusahaan. Dengan demikian, masalah utama yang dihadapi sehingga membuat BUMN karya ini merugi bukan hanya total utang yang naik, karena sudah terjadi sejak 2015 (Rasio utang) terhadap modal saat itu 212,3%," jelas Achmad.
Dia mengatakan, masalahnya ada pada pengelolaan arus kas atau likuiditas jangka pendek. "Ini perlu diklarifikasi oleh Waskita, apakah profit yang dihasilkan hanya di atas kertas bukan penerimaan dalam bentuk cash ke perusahaan? Atau apakah ada dugaan skandal di balik kerugian Waskita itu?," ucapnya.
Selain rugi besar, dalam laporan keuangan perusahaan tahun 2020, Waskita juga terlilit utang Rp89,011 triliun dan beban bunganya Rp4,7 triliun. Sekarang Waskita malah menargetkan penerimaan pendanaan sebesar Rp15,3 triliun dari pinjaman perbankan maupun penerbitan obligasi atau sukuk. "Pinjaman ini perlu dipertimbangkan lagi, dihitung secara cermat, agar perseroan tidak gagal bayar utang dan memastikan kerugian sebelumnya tidak terulang lagi," imbuh Achmad.
Langkah lainnya yang perlu dilakukan Waskita adalah membuat skema ulang bisnisnya. "Selain proyek jangka panjang, Waskita juga perlu membuat portofolio proyek dalam jangka menengah dan pendek. Ini penting dilakukan agar saat menghadapi situasi seperti pandemi Covid-19 yang membuat ekonomi kita shock, Waskita tidak mengalami kerugian," pungkasnya. (RAMA)