Anggaran kesehatan yang meningkat untuk mengatasi wabah Covid-19 adalah salah satu masalah yang pelik yang dihadapi banyak negara.
Dalam merespon krisis tersebut, pemerintah Indonesia meluncurkan paket stimulus fiskal secara masif melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Indonesia menempati peringkat lima besar negara di kawasan Asia Pasifik dengan budget penanganan Covid-19 terbesar menurut studi Asia Development Bank 2021.
Pada tahun 2020 pemerintah mengalokasikan Rp695,2 triliun atau sekitar USD49 miliar untuk program tersebut.
Lembaga kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) juga banyak menuai kritik akibat ketidakmampuannya melakukan intervensi secara mendalam untuk menangani pandemi di negara-negara berkembang.
Hal ini disinyalir karena WHO tidak memiliki anggaran yang cukup untuk memenuhi kebutuhan global dalam memerangi Covid-19.
Mengutip The Conversation, total anggaran program yang diusulkan untuk WHO untuk 2020-2021 adalah USD4,84 miliar atau sekitar US$2,4 miliar per tahun, meningkat 9% dari tahun anggaran dua tahun sebelumnya. Selain itu, sebesar USD1 miliar dialokasikan untuk operasi darurat. Namun, jumlah ini terlalu kecil untuk badan sebesar WHO.
Sementara, Amerika Serikat (AS) merupakan negara pemberi donor utama bagi WHO. AS menyumbang hampir USD90 juta atau sekitar 16% dari total anggaran organisasi tersebut pada 2018-2019.
Keputusan Presiden AS Donald Trump yang sempat menghentikan pendanaan AS ke WHO di tengah pandemi virus corona terang saja memicu kontroversi besar. (Lihat grafik di bawah ini).
Sementara, untuk mengakali kekurangan dana penanganan pandemi, sebagai strategi jangka pendek, WHO mendorong pendanaan kolektivis sebesar USD23 miliar untuk mengakhiri pandemi sebagai dana darurat global pada 2022.
WHO telah mengembangkan Access to COVID-19 Tools Accelerator (ACT-A), sebuah program untuk mendukung semua kegiatan penelitian dan pengembangan dalam kemungkinan wabah di masa depan, manufaktur, regulasi, pembelian dan pengadaan alat yang diperlukan untuk mengakhiri pandemi Covid-19.
FIF menjadi bukti komitmen negara G20 dalam mendukung reformasi arsitektur global yang berkeadilan. Namun, implementasinya masih perlu untuk dikawal dengan ketat, mengingat hal ini masih sebatas wacana yang memerlukan pembuktian lebih lanjut. (ADF)